Sidang skripsi sering dianggap sebagai momen paling menegangkan bagi mahasiswa. Di balik meja panjang, para dosen duduk dengan ekspresi serius, siap menguji hasil kerja keras berbulan-bulan. Tapi sebenarnya, apa saja yang mereka nilai?
Banyak mahasiswa mengira bahwa sidang hanya soal bisa menjawab pertanyaan atau tidak. Padahal, dosen menilai jauh lebih dari itu. Mereka mengamati cara berpikir, sikap, struktur tulisan, hingga etika akademik yang ditunjukkan selama proses dan presentasi. Mari kita kupas seperti apa kinerja yang dinilai baik dan buruk dalam sidang skripsi sesuai standar internasional untuk Sarjana Teknik (Washington Accord/IABEE).
Anggap ada dua mahasiswa yang sama-sama menulis skripsi tentang efisiensi produksi di industri. Mahasiswa pertama, sebut saja Soleh, menyusun laporan teknisnya dengan rapi. Bab-babnya tersusun logis, tiap argumen dilandasi referensi yang relevan, dan tidak ada kesalahan tata bahasa yang mencolok. Saat dibaca, laporan Soleh mengalir dengan jelas dan meyakinkan. Sebaliknya, Bowo menulis laporan yang meloncat-loncat alurnya—kesimpulan muncul sebelum analisis, dan banyak kalimatnya membingungkan. Dosen pembaca pun harus mengernyitkan dahi beberapa kali karena kesalahan bahasa dan istilah teknis yang tidak konsisten. Dalam aspek penulisan, Soleh jelas unggul karena ia menunjukkan kemampuan menyampaikan gagasan tertulis secara efektif dan profesional.
Nilai plus berikutnya datang dari integritas akademik. Soleh mencantumkan semua referensinya dengan benar, menyebutkan bahwa ia menggunakan bantuan AI hanya untuk proofreading, dan mencatat bahwa data yang ia pakai berasal dari kerja sama dengan sebuah perusahaan BUMN—semuanya dilaporkan di bagian metodologi. Bowo, di sisi lain, mencantumkan beberapa kutipan tanpa sumber, menutupi penggunaan AI dalam naskahnya, dan ketika ditanya, ia tidak bisa menjelaskan asal data yang ia gunakan. Hal ini memunculkan kecurigaan terhadap integritas akademiknya. Dalam hal ini, keterbukaan Soleh dalam metodologi menjadi poin penting yang membuat dosen merasa yakin terhadap validitas penelitiannya.
Saat hari sidang tiba, Soleh tampil percaya diri. Ia memaparkan hasil penelitiannya dengan runtut, menggunakan slide yang bersih dan informatif, tidak terlalu penuh teks, tapi cukup visual untuk membantu audiens memahami. Gestur tubuhnya tenang, suaranya jelas, dan ia terlihat benar-benar menguasai topiknya. Sebaliknya, Bowo datang dengan slide yang penuh tulisan dan gambar yang buram. Ia terlihat gelisah, sering membaca teks di layar, dan terkadang kehilangan arah ketika menjelaskan. Bagi dosen penguji, kemampuan presentasi bukan soal bakat bicara saja, tetapi soal bagaimana mahasiswa bisa menerjemahkan penelitiannya ke dalam komunikasi lisan dan visual yang efektif.
Setelah presentasi, tibalah saat tanya jawab. Dosen bertanya: “Mengapa Anda memilih metode X dibanding metode Y?” Soleh menjawab dengan mantap, menyebutkan kelebihan metode X dalam konteks datanya dan keterbatasan waktu pengambilan data lapangan. Jawabannya menunjukkan pemahaman mendalam terkait dasar teori. Ketika pertanyaan serupa diajukan ke Bowo, ia menjawab secara umum dan terlihat menghindari detail teknis. Di sinilah dosen bisa langsung menilai siapa yang betul-betul paham akan risetnya sendiri dan siapa yang hanya menjalankan skripsi sebagai formalitas.
Penilaian tidak hanya berhenti di sidang, tetapi juga dari perjalanan selama pengerjaan. Soleh sejak awal sudah membuat timeline, berdiskusi rutin dengan dosen pembimbing, dan menyelesaikan tiap tahap sesuai jadwal. Ia juga pandai mengelola data dan menggunakan software yang ia butuhkan. Bowo, sayangnya, sering telat konsultasi, beberapa kali mengganti topik karena tidak punya rencana yang matang, dan bahkan sempat kehilangan data karena tidak menyimpan dengan benar. Di mata dosen pembimbing, ini mencerminkan kemampuan manajemen proyek yang lemah.
Terakhir, interaksi mahasiswa dengan pihak luar juga diperhatikan. Dalam proses pengambilan data, Soleh selalu menjaga komunikasi yang sopan, meminta izin secara resmi, dan memberi ucapan terima kasih kepada respondennya. Ia menunjukkan sikap profesional sebagai peneliti muda. Bowo, sebaliknya, beberapa kali membuat narasumber kesal karena kurang sopan dan tidak memberi kabar lanjutan setelah wawancara. Hal-hal seperti ini bisa menjadi catatan etis penting bagi dosen pembimbing.
Jadi, sidang skripsi bukan cuma soal bisa atau tidaknya menjawab. Dosen menilai secara komprehensif: mulai dari kualitas tulisan, integritas akademik, cara presentasi, kemampuan berpikir kritis, manajemen proyek, hingga sikap profesional. Dan yang menarik, semuanya tidak bisa dipalsukan dalam satu hari sidang saja—semuanya adalah hasil dari proses panjang yang terlihat atau tidak terlihat oleh mahasiswa itu sendiri.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mengembangkan proses penulisan dan menyajikan ilustrasi. Penulis tetap melakukan kurasi, pengeditan, dan penyesuaian atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan konteks pendidikan teknik di Indonesia. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.