Muncul wacana Industry 5.0: Yakin sudah matang konsepnya?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia industri global diwarnai dengan munculnya istilah baru: Industry 5.0. Istilah ini seolah menjadi jawaban atas kegelisahan terhadap revolusi industri sebelumnya—Industry 4.0—yang dianggap terlalu fokus pada efisiensi dan otomatisasi. Kini, narasi perkembangan industri mulai bergeser ke arah yang lebih “humanis” yaitu mengembalikan manusia sebagai aktor utama dalam proses industri.

Namun, sebelum kita larut dalam euforia ini, pertanyaannya: apakah konsep Industry 5.0 benar-benar sudah matang, atau hanya sekadar jargon yang lahir terlalu dini?

Apa itu Industry 5.0?

Industry 5.0 sebenarnya muncul bukan karena dorongan teknologi, melainkan sebagai respons kritis terhadap keterbatasan Industry 4.0. Ia juga bukan kelanjutan revolusi industri dalam urutan waktu, tetapi lebih ke pergeseran nilai dan arah tujuan. Industry 5.0 lahir dari refleksi atas kekurangan konsep sebelumnya yang terlalu terpaku pada teknologi sebagai pusat segalanya. Dunia mulai sadar bahwa mengejar otomatisasi tanpa memperhitungkan aspek sosial, lingkungan, dan etika bisa membawa konsekuensi serius: kehilangan pekerjaan massal, ketimpangan digital, hingga eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan.

Sebagai antitesis, Industry 5.0 menempatkan manusia kembali sebagai pusat dari sistem industri. Terdapat tiga prinsip utama dalam pendekatan ini:

  • Human-centric: teknologi diciptakan untuk mendukung manusia, bukan menggantikannya.
  • Sustainable: aktivitas industri harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
  • Resilient: sistem industri harus tahan terhadap guncangan besar, baik itu pandemi, krisis iklim, maupun konflik geopolitik.

Dalam Industry 5.0, manusia tidak digantikan oleh mesin, tetapi justru berkolaborasi dengan teknologi secara cerdas. Misalnya di sektor manufaktur, muncul pendekatan cobot (collaborative robots) yang dirancang bukan untuk mengambil alih pekerjaan manusia sepenuhnya, tetapi untuk membantu tugas-tugas berat atau repetitif, sementara manusia tetap memegang peran dalam pengambilan keputusan strategis, desain, dan inovasi.

Dengan tiga prinsip tersebut, industri masa depan bukan lagi hanya soal kecepatan dan efisiensi produksi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi bisa memberdayakan manusia, menjaga kelestarian alam, dan tetap kokoh saat menghadapi krisis seperti pandemi atau gangguan geopolitik.

Namun, perlu disadari bahwa penerapan Industry 5.0 tidak lepas dari sejumlah tantangan mendasar. Transformasi ini bukan sekadar soal adopsi teknologi canggih, tetapi juga menuntut perubahan paradigma dalam melihat peran manusia dan teknologi di dalam sistem.

Sebagai contoh, dalam program smart farming, penggunaan sensor, drone, dan platform digital memang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian. Namun, dalam kerangka Industry 5.0, keberhasilan tidak cukup diukur dari kecanggihan teknologi semata. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana petani sebagai aktor utama dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mendapatkan akses pelatihan, dan merasakan manfaat ekonomi secara langsung. Dengan kata lain, teknologi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan alat pengganti manusia.

Contoh lainnya terlihat di sektor logistik e-commerce, teknologi algoritma rute cerdas memang meningkatkan kecepatan pengiriman. Namun, dalam kerangka Industry 5.0, keberhasilan tidak semata diukur dari kecepatan, tetapi juga dari dampak sosial dan lingkungan. Misalnya, opsi pengiriman terjadwal yang mengkonsolidasikan beberapa paket sekaligus dapat mengurangi emisi karbon, sementara perlindungan terhadap kesejahteraan kurir—seperti jam kerja manusiawi dan insentif keselamatan—menjadi indikator penting lainnya. Teknologi harus mendorong keberlanjutan dan kesejahteraan, bukan sekadar efisiensi.

Kritik dari Para Pakar

Di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan, konsep Industry 5.0 masih memicu diskusi hangat. Sebagian pakar melihatnya sebagai lompatan penting menuju pendekatan industri yang lebih bertanggung jawab dan inklusif. Komisi Eropa, misalnya, sudah mengadopsi Industry 5.0 dalam kerangka kebijakan industri mereka, menekankan hubungan erat antara digitalisasi dan agenda hijau.

Namun tak sedikit pula yang skeptis. Salah satu kritik utama terhadap konsep ini adalah bagaimana Industry 5.0 tampak lebih seperti branding politik ketimbang kerangka ilmiah yang matang. Sejumlah peneliti juga mempertanyakan kedalaman konsep Industry. Apakah ini benar-benar revolusi baru atau hanya rebranding dari ide-ide lama seperti socio-technical systems yang sudah dibahas sejak dekade 1970-an? Bukankah konsep seperti green manufacturing, corporate social responsibility (CSR), atau ekonomi sirkular sudah membahas hal serupa? Selain itu, minimnya kajian ilmiah dan studi kasus lapangan membuat konsep ini belum matang secara metodologis.

Penutup

Gagasan Industry 5.0 mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi seharusnya membawa manfaat bagi manusia, bukan sekadar mengejar efisiensi atau keuntungan semata. Dalam konteks Indonesia, di mana banyak sektor industri masih jauh dari adopsi teknologi tinggi, pendekatan Industry 5.0 mungkin lebih masuk akal karena memungkinkan kita untuk memulai transformasi dari nilai, bukan dari alat. Sehingga mencegah kita jatuh ke dalam jebakan mengejar teknologi demi citra, tanpa memikirkan dampak pada kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan.

Tantangannya kini adalah menjembatani antara narasi gagasan dan implementasi konkret di industri dan masyarakat. Jika tidak diterjemahkan dengan benar, Industry 5.0 bisa terjebak menjadi jargon kosong tanpa perubahan mendasar, seperti fenomena “greenwashing—yakni ketika perusahaan menggunakan jargon sustainability hanya sebagai pencitraan semata, namun pada praktiknya masih menerapkan sistem kerja yang eksploitatif.

Refleksi satu dekade Industry 4.0: Sudah sampai mana?

Ketika istilah “Industry 4.0” pertama kali diperkenalkan secara publik di ajang Hannover Messe tahun 2011, banyak pihak memandangnya sebagai sebuah revolusi industri baru yang akan mengubah lanskap manufaktur dan industri global secara drastis. Dengan janji membawa otomatisasi cerdas, konektivitas tanpa batas, dan pengambilan keputusan berbasis data real-time, konsep ini begitu memikat. Industri 4.0 menjanjikan era pabrik cerdas—tempat robot bekerja berdampingan dengan manusia, data dari sensor dikirim langsung ke cloud, dan kecerdasan buatan memprediksi kerusakan mesin sebelum terjadi.

Namun, kini setelah lebih dari satu dekade berlalu, pertanyaan penting muncul: sejauh mana sebenarnya realisasi dari harapan tersebut?

Fase Kebangkitan

Di Indonesia, narasi Industry 4.0 mulai mendapat sorotan serius sejak diluncurkannya peta jalan “Making Indonesia 4.0” oleh Kementerian Perindustrian pada tahun 2018. Lima sektor utama—makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia—ditetapkan sebagai prioritas transformasi digital nasional. Berbagai inisiatif dan kolaborasi, baik dari pemerintah maupun swasta, mulai diarahkan untuk mempercepat adopsi teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, artificial intelligence (AI), dan robotika dalam ekosistem industri Indonesia.

Jika kita lihat secara lebih luas, revolusi Industry 4.0 ini tidak hanya terlihat di pabrik manufaktur. Transformasi digital di Indonesia mengalami fase euforia ketika startup teknologi merajai pemberitaan, merekrut ribuan talenta muda, dan meraih pendanaan jutaan dolar dari investor global. Di jalanan kota-kota besar Indonesia, kita menyaksikan layanan ojek online seperti Gojek telah mengubah struktur pekerjaan, pola konsumsi, dan ekosistem logistik. Teknologi pemetaan, algoritma pembagian order, dan fitur e-wallet menjadikan ojek online simbol nyata dari otomasi berbasis data.

Fenomena serupa juga terjadi pada digitalisasi transaksi lewat QRIS. Sebagai sistem pembayaran terintegrasi, QRIS telah mendorong UMKM masuk ke ekosistem digital secara luas. Dari pedagang kaki lima hingga toko kelontong, kini banyak yang menerima pembayaran digital hanya dengan menempelkan stiker QR. Begitu pula di ranah e-commerce, platform seperti Tokopedia dan Bukalapak tidak hanya menjadi tempat jual beli online, tetapi juga sarana orkestrasi logistik, analitik permintaan, dan manajemen rantai pasok mikro secara real-time yang mampu melayani jutaan transaksi harian dan menjangkau konsumen hingga pelosok.

“Ojol, olshop, dan QRIS adalah wajah nyata Industry 4.0 di Indonesia — dekat, membumi, dan penuh tantangan.”

Fase Kekecewaan

Namun secara umum, integrasi menyeluruh masih menemui kendala. Tantangan yang dihadapi di Indonesia mencakup tidak hanya mahalnya biaya adopsi teknologi dan rendahnya interoperabilitas dengan sistem lama, tetapi juga kurangnya tenaga kerja terampil di bidang digital manufacturing. Sebagian besar pekerja manufaktur di Indonesia belum memiliki kompetensi digital yang memadai, sementara pelatihan vokasi yang adaptif terhadap perubahan teknologi juga belum meluas. Selain itu, banyak industri kecil dan menengah (IKM) belum tersentuh transformasi ini karena terbatasnya modal, akses teknologi, dan sumber daya manusia yang memadai.

Kendala ini diperparah oleh kegagapan sebagian instansi pemerintah dan konsultan bisnis dalam memaknai transformasi digital. Alih-alih membangun ekosistem digital yang terintegrasi dan berkelanjutan, tidak sedikit lembaga yang justru menyamakan digitalisasi dengan sekadar peluncuran aplikasi mobile atau portal layanan daring, tanpa integrasi data antarinstansi atau penyederhanaan proses birokrasi yang nyata. Bahkan, tidak jarang anggaran besar dialokasikan untuk teknologi yang belum relevan secara kontekstual—seperti proyek metaverse, AI, ataupun IoT, yang diluncurkan tanpa pemetaan kebutuhan pengguna atau kejelasan nilai manfaat.

Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap Industry 4.0 akhirnya memicu banyak kekecewaan. Di awal kemunculannya, Industry 4.0 dipromosikan seolah mampu membawa perubahan instan dalam produktivitas dan efisiensi. Kenyataannya, transformasi digital bersifat bertahap, kompleks, dan menuntut perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Transformasi ini tidak hanya soal membeli teknologi, tetapi juga menyangkut kesiapan manusia dan proses.

Inilah mengapa banyak inisiatif Industry 4.0 akhirnya gagal menunjukkan hasil signifikan dalam jangka pendek, sehingga menurunkan antusiasme di beberapa sektor. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, euforia Industry 4.0 meredup. Pemutusan hubungan kerja massal, penutupan layanan, dan valuasi yang ambruk menjadi sinyal bahwa disrupsi teknologi bukan jaminan keberhasilan tanpa fondasi bisnis yang solid. Runtuhnya kepercayaan investor internasional terhadap sebagian startup Indonesia menjadi pengingat penting bahwa adopsi teknologi harus disertai tata kelola yang baik, akuntabilitas data, dan strategi jangka panjang.

Fase Pencerahan

Namun menariknya, perkembangan dalam dekade ini tidak serta-merta menunjukkan kegagalan. Justru, ada pergeseran menuju pemahaman yang lebih matang. Para pemangku kepentingan kini mulai lebih realistis—tidak lagi hanya mengejar teknologi terbaru, melainkan mencari cara agar implementasi digital benar-benar sejalan dengan kebutuhan bisnis. Fokus mulai bergeser dari “apa teknologinya?” ke “apa nilai tambahnya?” Hal ini tercermin dari semakin maraknya pendekatan yang mengedepankan strategi berbasis nilai, interoperabilitas sistem, penguatan keamanan siber, dan peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan program reskilling.

Dalam konteks ini, wacana “Industry 5.0” mulai muncul sebagai respons terhadap keterbatasan pendekatan teknologi-sentris dari era sebelumnya. Industry 5.0 bukan berarti melupakan teknologi, tetapi mengembalikan peran manusia sebagai pusat inovasi. Kolaborasi antara manusia dan mesin, desain yang berpusat pada manusia (human-centered design), serta perhatian terhadap keberlanjutan (sustainability) dan ketahanan sistem (resiliency) menjadi prinsip kunci dari paradigma ini. Dengan kata lain, setelah satu dekade berfokus pada otomatisasi dan efisiensi, kini muncul kesadaran bahwa teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat kapasitas manusia, bukan menggantikannya.

“Pelajaran utama dari dekade pertama Industri 4.0 adalah pentingnya memulai dengan strategi digital yang jelas dan komprehensif yang selaras dengan tujuan bisnis organisasi secara keseluruhan.”

Epilog

Bagi generasi muda Indonesia yang akan menjadi pelaku industri masa depan, refleksi satu dekade Industry 4.0 ini memberi pelajaran penting. Pertama, bahwa transformasi digital bukanlah perjalanan singkat, tetapi membutuhkan strategi, kesabaran, dan kesiapan menyeluruh dari sisi teknologi, organisasi, dan budaya. Kedua, bahwa nilai sejati dari inovasi tidak terletak pada kecanggihan teknologinya semata, melainkan pada kemampuannya memecahkan masalah nyata dan menciptakan dampak sosial yang positif.

Maka jika pertanyaannya adalah “sudah sampai di mana Industry 4.0?”, jawabannya bukanlah garis akhir yang jelas, melainkan proses yang terus berkembang. Kita belum sepenuhnya tiba di destinasi akhir, tetapi sudah cukup jauh melangkah untuk memahami apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Dalam dekade berikutnya, tantangan dan peluang akan terus muncul, dan keberhasilan transformasi digital akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita merancang masa depan industri yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak secara sosial dan berkelanjutan secara lingkungan.

Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mengembangkan ide tulisan dan pembuatan ilustrasi (OpenAI ChatGPT). Penulis tetap melakukan kurasi dan pengeditan naskah. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.

Etika Penggunaan AI untuk Tugas Kuliah

Generative AI (GenAI) – seperti ChatGPT, Gemini, atau DeepSeek – makin sering dipakai mahasiswa buat bantu ngerjain tugas kuliah. Tapi pertanyaannya: boleh nggak sih sebenarnya pakai AI?

TL/IDR: boleh, tapi harus tahu etika penggunaannya.

Yuk kita kupas kapan boleh dan tidak boleh pakai GenAI dalam perkuliahan.

Kapan Boleh Pakai AI?

Umumnya, GenAI boleh digunakan untuk hal-hal seperti:

  1. Brainstorming: Bingung mau nulis apa? Pakai GenAI buat cari ide awal atau bikin outline kasar. Lalu kembangkan gagasan tersebut secara mandiri.
  2. Meringkas Teks yang Panjang: Pakai AI untuk mendapatkan gambaran umum dan skimming teks panjang, tapi bukan untuk menggantikan proses membaca keseluruhan.
  3. Belajar Materi Sulit: Minta penjelasan ulang dari AI saat dosenmu ngajarin konsep rumit pakai bahasa alien.
  4. Ngecek Tata Bahasa: Pakai AI buat ngecek grammar atau nyari kalimat yang lebih enak dibaca.
  5. Bantu Coding (kalo dibolehkan dosen): Kalau kamu kuliah di jurusan yang butuh ngoding, AI bisa bantu debug atau kasih saran — asal kamu paham konsep dasarnya dulu ya.
  6. Latihan Soal: Mau belajar sebelum ujian? Suruh AI buatin soal-soal latihan buat ngetes pemahaman kamu.
  7. Mencari Pendapat yang Berbeda: Minta AI untuk mencari pendapat yang berbeda dengan pendapatmu untuk meperkaya dan mempertajam argumen dalam analisismu.

Kapan Tidak Boleh? 🚫

Beberapa penggunaan AI berikut dapat melanggar etika akademik:

  1. Mengklaim hasil AI sebagai karyamu sendiri: copas mentah-mentah jawaban dari AI (teks, gambar, suara, video, code) dan mengakuinya sebagai hasil karyamu sendiri.
  2. Menggantikan tugas berpikir kritis: membuat keseluruhan esai, solusi, dan hasil karya kreatif, yang diharapkan untuk kamu buat sendiri.
  3. Mengabaikan proses belajar: menggantungkan kepada AI untuk menjawab pertanyaan atau tugas yang sulit tanpa berusaha mengembangkan pemahaman sendiri.
  4. Membuat kutipan, data, atau referensi palsu hasil karangan AI.
  5. Mengunggah data sensitif: data privat, data perusahaan, ataupun data sensitif lainnya tidak boleh diunggah ke AI.

Kalau kamu tetap ngelakuin itu bisa-bisa dianggap plagiarisme, dan itu termasuk pelanggaran serius di dunia akademik (e.g. bisa kena sanksi bahkan hingga dikeluarkan dari kampus).

Bagaimana Etika Menggunakan AI? 💕

Kalau kamu pakai GenAI yang berkontribusi signifikan ke isi tugasmu, seperti:

  • Membuat outline atau struktur laporan yang benar-benar membentuk hasil akhir tugasmu.
  • Menyisipkan kalimat, paragraf, atau ide hasil dari AI, meskipun sudah kamu edit.
  • Membuat kode, analisis data, atau solusi spesifik yang jadi bagian tugasmu.
  • Meringkas sumber bacaan yang kemudian kamu pakai di tulisanmu.

Maka kamu wajib melaporkan secara transparan dalam sebuah “pernyataan pengungkapan” (disclosure statement) yang minimal berisikan: nama platform AI yang digunakan dan bagaimana cara penggunaannya (misal: brainstorming, meringkas, bantu coding, bikin gambar).

Cara pengungkapan bisa lewat:

1. Pernyataan Umum (Acknowledgment):

“Penulis menggunakan bantuan ChatGPT 4.0 untuk mengembangkan ide awal dan memperbaiki struktur kalimat dalam penugasan ini.”

2. Catatan Kaki (Footnote):

Bagian argumentasi awal dikembangkan dengan bantuan Gemini (akses 14 April 2025) menggunakan prompt: ‘Apa saja dampak sosial dari subsidi energi?'

3. Di bagian metode penelitian:

Selama proses brainstorming, ChatGPT digunakan untuk mengeksplorasi berbagai topik seputar ekonomi sirkular. Ide-ide yang relevan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan kajian pustaka manual.

Mari kita gunakan GenAI sebagai alat bantu belajar, bukan sebagai joki digital. Jika kamu menggunakan AI, maka kamu wajib menyebutkan dengan jujur dan terbuka. Tugas kuliah harus mencerminkan pemahaman dan usaha kamu sendiri. Kalau kamu ragu, tanya dosennya langsung. Setiap kampus dan mata kuliah bisa punya aturan yang beda. Jadi, selalu cek kebijakan di kampus-mu masing-masing ya.