Merancang Jalur Evakuasi yang Realistis dan Aman: Integrasi Perilaku Manusia dalam Krisis Gunung Berapi

Dalam situasi bencana, kecepatan sering dianggap sebagai segalanya. Namun, ketika menyusun rencana evakuasi di tengah ancaman letusan gunung berapi, pendekatan yang hanya berfokus pada kecepatan bisa menjadi bumerang. Penelitian oleh Budhi Sholeh Wibowo dan Budi Hartono dari Universitas Gadjah Mada menawarkan perspektif baru: untuk menciptakan jalur evakuasi yang benar-benar efektif, kita harus mempertimbangkan tidak hanya jarak dan waktu tempuh, tetapi juga keselamatan dan perilaku manusia.

Letusan Gunung Merapi dipilih sebagai konteks studi karena kompleksitas ancamannya: mulai dari aliran piroklastik, lahar, hingga batuan panas yang dapat melanda pemukiman dengan kecepatan tinggi. Evakuasi dalam konteks ini bukanlah lari cepat sesaat, melainkan proses bertahap yang berlangsung dalam tekanan tinggi dan dengan informasi yang tidak selalu sempurna. Di sinilah aspek psikologis dan persepsi individu memainkan peran krusial.

Budhi Wibowo dan Budi Hartono mengembangkan sebuah model perencanaan jalur evakuasi berbasis permasalahan “shortest path”, tetapi dengan pendekatan inovatif: mereka menggabungkan tiga parameter utama—jarak fisik, tingkat risiko berdasarkan kedekatan dengan sumber bahaya, dan kompleksitas jalur yang didasarkan pada persepsi manusia terhadap arah yang “benar” (dalam konteks Merapi, misalnya, ke arah selatan yang dianggap lebih aman). Ketiga parameter ini dijadikan satu dalam bentuk “joint-cost”, yaitu sebuah fungsi biaya terpadu yang menggabungkan risiko dan persepsi kognitif manusia.

Pendekatan ini diuji secara numerik menggunakan jaringan jalan besar di wilayah rawan Merapi, dengan membandingkan empat skenario: jalur tercepat, jalur paling aman, jalur paling sederhana, dan jalur berdasarkan joint-cost. Hasilnya menarik: jalur tercepat cenderung melewati daerah yang berisiko tinggi, sementara jalur paling aman justru sangat kompleks dan sulit diikuti dalam situasi panik. Di sisi lain, jalur berdasarkan joint-cost berhasil menawarkan kompromi optimal—hanya 8% lebih panjang dibanding jalur tercepat, namun dengan risiko 19% lebih rendah dan kompleksitas 24% lebih sederhana dibanding jalur teraman.

Aspek kebaruan dari studi ini terletak pada metode yang secara simultan mengintegrasikan aspek keselamatan dan perilaku manusia dalam perencanaan jalur evakuasi pada konteks bencana gunung berapi. Dari sudut pandang manajerial, temuan ini menuntut perubahan paradigma dalam perencanaan kebencanaan. Jalur evakuasi tidak boleh disusun semata berdasarkan kalkulasi teknis, melainkan harus diselaraskan dengan cara manusia berpikir, merespons, dan mengambil keputusan dalam tekanan. Simulasi, pelatihan, dan penyediaan petunjuk arah di lapangan perlu mempertimbangkan intuisi masyarakat lokal, bukan hanya logika algoritma.

Lebih lanjut, penelitian ini membuka peluang untuk pengembangan sistem perencanaan evakuasi berbasis kecerdasan buatan atau model agen (agent-based modeling) yang mempertimbangkan dinamika kerumunan, pengaruh pemimpin opini, dan kondisi jalan nyata, seperti kemiringan dan kapasitas jalan. Pada akhirnya, solusi teknologi harus tetap berpijak pada kenyataan sosial dan psikologis masyarakat yang menghadapinya

Sumber: Wibowo, B., & Hartono, B. (2020). Integrating human behavior and safety measure into evacuation route planning in a volcanic crisis. Jurnal Teknik Industri: Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik Industri, 22(2), 103-110.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.