Mengoptimalkan Kolaborasi Horizontal dalam Sistem Logistik Perkotaan

Di tengah persaingan yang ketat di pasar pengiriman perkotaan, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan logistik. Persaingan yang semakin sengit antara penyedia jasa pengiriman sering kali memunculkan dampak negatif seperti ketidakefisienan operasional, kemacetan lalu lintas, dan polusi lingkungan. Masalah ini semakin diperparah dengan adanya peningkatan permintaan yang dipicu oleh e-commerce, yang mengharuskan perusahaan untuk memperluas jaringan mereka dengan tujuan mencapai lebih banyak pelanggan. Namun, strategi ekspansi ini justru membawa dampak buruk, terutama pada penggunaan kapasitas transportasi yang tidak optimal dan berujung pada konsumsi energi yang lebih besar dan peningkatan emisi karbon.

Penelitian ini menawarkan solusi yang dapat mengatasi berbagai masalah tersebut melalui penerapan kolaborasi horizontal dalam operasi pengambilan barang (pick-up) di sistem pengiriman perkotaan. Kolaborasi horizontal di sini merujuk pada kemitraan antara perusahaan-perusahaan yang menawarkan layanan serupa untuk saling berbagi sumber daya dan meraih keuntungan bersama. Pendekatan ini tidak hanya berpotensi mengurangi biaya operasional tetapi juga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, terutama emisi gas rumah kaca yang berasal dari kendaraan pengiriman yang berlebihan.

Di perkotaan, banyak perusahaan pengiriman yang beroperasi dengan armada kendaraan yang sering kali tidak terisi penuh, sehingga menyebabkan pemborosan sumber daya dan meningkatkan jarak tempuh kendaraan. Pada banyak kasus, kendaraan yang digunakan untuk pengambilan barang tidak maksimal dalam mengangkut muatan, yang mengarah pada efisiensi rendah dalam operasional. Selain itu, ketidakefisienan ini juga berdampak pada kemacetan lalu lintas, meningkatkan konsumsi bahan bakar, dan akhirnya memperburuk polusi udara di kota-kota besar.

Penelitian ini mengusulkan bahwa solusi terhadap masalah ini adalah dengan mendorong kolaborasi horizontal di antara perusahaan pengiriman. Dengan berbagi armada kendaraan dan depot, perusahaan dapat mengoptimalkan rute pengambilan dan mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan, yang pada gilirannya akan mengurangi kemacetan dan emisi karbon. Penelitian ini mengembangkan model matematika yang berbasis pada Multi-Depot Vehicle Routing Problem (MDVRP) untuk merencanakan rute optimal bagi perusahaan yang terlibat dalam kolaborasi.

Studi kasus yang dilakukan di Pekanbaru, Indonesia, melibatkan dua perusahaan pengiriman yang sepakat untuk berbagi data dan menguji potensi kolaborasi ini. Hasil simulasi menunjukkan bahwa melalui kolaborasi ini, kedua perusahaan bisa menghemat biaya operasional hingga 33% dan mengurangi emisi karbon hingga 29%. Dengan demikian, model ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan pada literatur logistik dan transportasi perkotaan dengan menawarkan solusi praktis melalui kolaborasi horizontal. Berbeda dengan banyak studi sebelumnya yang hanya berbasis pada model teoretis, penelitian ini mengimplementasikan model kolaborasi menggunakan data nyata dari perusahaan di Pekanbaru. Selain itu, penelitian ini juga memberikan wawasan baru tentang mekanisme pembagian biaya yang adil antara perusahaan yang berkolaborasi, dengan menawarkan berbagai metode pembagian biaya seperti proportional to pick-up, proportional to payload, dan metode Shapley.

Bagi para perencana kota dan penyedia jasa logistik, penelitian ini memberikan beberapa implikasi manajerial yang penting. Pertama, kolaborasi horizontal dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi operasional di perkotaan, yang pada gilirannya dapat mengurangi beban kemacetan dan dampak lingkungan. Kedua, perusahaan perlu mempertimbangkan potensi kolaborasi ini sebagai bagian dari strategi keberlanjutan mereka, yang tidak hanya mendukung efisiensi biaya tetapi juga berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Namun, meskipun kolaborasi horizontal menawarkan banyak keuntungan, tantangan implementasi seperti koordinasi antar perusahaan, masalah kepercayaan, dan perlunya sistem informasi yang lebih baik tetap menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, bagi manajer logistik dan pemangku kebijakan, penting untuk menciptakan kebijakan yang memfasilitasi kolaborasi semacam ini dengan membangun sistem yang mendukung transparansi dan kepercayaan antar pihak yang terlibat.

Kolaborasi horizontal dalam pengambilan barang di sistem pengiriman perkotaan terbukti memberikan manfaat yang signifikan baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Meskipun penerapannya membutuhkan perhatian pada mekanisme pembagian biaya yang adil, pendekatan ini dapat menjadi strategi jangka panjang yang efektif untuk mengatasi masalah kemacetan, polusi, dan pemborosan sumber daya di kota-kota besar. Bagi perusahaan logistik, kolaborasi ini tidak hanya mengurangi biaya tetapi juga meningkatkan kinerja keberlanjutan yang semakin penting di mata konsumen dan pemangku kepentingan.

Sumber: Justiani, S., & Wibowo, B. S. (2022). The economic and environmental benefits of collaborative pick-up in urban delivery systems. LOGI: Scientific Journal on Transport and Logistics13(1), 245-256.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya. Ilustrasi merupakan karya orisinal penulis.

Mengungkap Resep Sukses Film Lokal di Tengah Gempuran Global

Dalam beberapa tahun terakhir, industri film lokal Indonesia menunjukkan ketangguhan yang mengejutkan. Meski harus bersaing dengan dominasi film Hollywood yang sarat dana dan promosi besar-besaran, film Indonesia tidak hanya bertahan—tetapi tumbuh. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada mengungkap secara komprehensif apa saja faktor kunci yang membedakan film lokal yang sukses dari yang gagal di box office, sekaligus membuka cakrawala baru bagi para produser dan distributor dalam menyusun strategi keberhasilan.

Masalah yang diangkat dalam studi ini cukup jelas: mengapa sebagian film lokal bisa menembus satu juta penonton sementara sebagian besar lainnya bahkan tidak mencapai 100.000? Untuk menjawab pertanyaan itu, tim peneliti menganalisis 225 film Indonesia yang dirilis antara 2017 dan 2018, menggunakan metode inovatif berbasis data bernama Tree-Based Comparative Analysis (TBCA). Ini adalah pendekatan yang menggabungkan logika set teori dengan model machine learning untuk mengidentifikasi pola sukses dalam kombinasi variabel yang kompleks.

Metode TBCA menawarkan keunggulan yang signifikan dibanding pendekatan konvensional. Sementara analisis statistik tradisional bisa tenggelam dalam kompleksitas data, TBCA menyederhanakannya menjadi pohon keputusan yang menunjukkan kombinasi minimum dari kondisi yang cukup untuk memprediksi kesuksesan. Hasil dari model ini tidak hanya akurat secara prediktif (dengan tingkat akurasi lebih dari 70%), tapi juga sangat interpretatif—fitur penting dalam pengambilan keputusan strategis di industri kreatif.

Hasil utama dari studi ini cukup menarik. Faktor yang paling menonjol dalam menentukan keberhasilan film lokal adalah popularitas aktor. Film dengan aktor populer memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses secara komersial. Tidak hanya itu, kehadiran film asing yang populer di bioskop pada waktu yang sama ternyata bukan ancaman, melainkan justru peluang. Film lokal yang dirilis bersamaan dengan film asing beranggaran besar malah cenderung memperoleh jumlah penonton yang lebih tinggi. Fenomena ini diduga terkait dengan halo effect, di mana minat masyarakat terhadap film asing menciptakan arus penonton yang juga berujung pada penemuan film lokal.

Namun, popularitas saja tidak cukup. Ketika membedakan film yang hanya “cukup sukses” dari yang “sangat sukses”, satu faktor menonjol: keakraban cerita. Film dengan narasi yang sudah dikenal penonton—baik sebagai sekuel, remake, atau adaptasi dari kisah populer—lebih mungkin menembus angka satu juta penonton. Temuan ini menegaskan efektivitas strategi brand extension dalam konteks film, sejalan dengan prinsip dasar pemasaran bahwa konsumen cenderung tertarik pada sesuatu yang sudah mereka kenal dan sukai.

Di sisi lain, studi ini juga menyoroti kombinasi faktor yang cenderung merugikan. Film bergenre drama dengan aktor yang kurang dikenal terbukti paling sulit meraih keberhasilan. Padahal, genre ini paling banyak diproduksi dalam industri film lokal. Ini menandakan perlunya evaluasi ulang dalam pemilihan genre dan pemetaan aktor, terutama untuk produser dengan sumber daya terbatas.

Dari temuan tersebut, implikasi manajerialnya sangat konkret. Pertama, casting aktor terkenal bukan sekadar keputusan artistik, melainkan investasi strategis yang terbukti berdampak pada performa pasar. Kedua, momentum peluncuran film perlu dipertimbangkan ulang: alih-alih menghindari film blockbuster asing, mungkin justru bisa dimanfaatkan sebagai katalis. Ketiga, membangun cerita yang berakar dari narasi yang telah dikenal publik dapat menjadi jalan pintas menuju sukses besar—dengan risiko yang lebih terukur dibanding eksplorasi cerita baru yang belum tentu resonan di pasar.

Dengan pendekatan berbasis data yang kuat dan wawasan yang aplikatif, studi ini menjadi kontribusi penting dalam literatur industri kreatif, khususnya di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Ini juga menjadi pengingat bahwa dalam dunia sinema, kesuksesan bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga soal strategi berbasis pemahaman mendalam terhadap perilaku penonton.

Ke depan, riset semacam ini perlu dilanjutkan dengan cakupan waktu yang lebih panjang dan integrasi variabel finansial seperti anggaran produksi dan biaya promosi. Namun satu hal sudah pasti: dalam lanskap yang kian kompetitif, intuisi saja tidak cukup. Film yang sukses membutuhkan cerita yang tepat, aktor yang strategis, dan waktu peluncuran yang cerdas—semuanya harus didukung oleh data.

Sumber: Wibowo, B. S., Rubiana, F., & Hartono, B. (2022). A data-driven investigation of successful local film profiles in the Indonesian box office. Jurnal Manajemen Indonesia, 22(3), 333-344.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.

Memetakan Aksesibilitas Calon Ibu Kota Baru lewat Open Data

Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur merupakan tonggak sejarah besar bagi Indonesia. Namun di balik keputusan monumental tersebut, tersimpan tantangan besar dalam merancang kota yang bukan sekadar megah secara fisik, tetapi juga inklusif, terhubung, dan berkeadilan. Salah satu aspek kunci yang sering luput dari perhatian dalam tahap awal perencanaan adalah aksesibilitas: sejauh mana masyarakat dapat menjangkau fasilitas penting seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan finansial.

Penelitian yang dilakukan oleh Budhi S. Wibowo, Rendy Bayu Aditya, dan Tirza Felia Harianto dari UGM menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang inovatif. Menggunakan data terbuka dari OpenStreetMap (OSM) serta perangkat lunak sumber terbuka seperti OSMNx dan Pandana, mereka merancang kerangka kerja untuk mengukur aksesibilitas berbasis jaringan jalan secara menyeluruh di wilayah calon ibu kota negara, yaitu area Penajam Paser Utara dan sekitarnya. Pendekatan ini bukan hanya ekonomis dan efisien, tetapi juga mudah direplikasi di wilayah lain—menjadikannya alat strategis dalam perencanaan regional.

Secara metodologis, studi ini mengukur jarak ke fasilitas publik berdasarkan kedekatan ke dua fasilitas terdekat dalam enam kategori utama: permukiman, pendidikan, kesehatan, pasar, transportasi, dan layanan finansial. Asumsinya sederhana namun kuat: jika seseorang tidak dapat menjangkau dua fasilitas serupa dalam radius lima kilometer, maka mereka hidup dalam kondisi aksesibilitas yang buruk. Pendekatan ini memperkenalkan aspek resiliensi dalam analisis aksesibilitas—sebuah langkah maju dibanding metode klasik yang hanya berfokus pada satu fasilitas terdekat.

Hasilnya mencengangkan. Hanya 20% dari wilayah yang dianalisis memiliki akses memadai ke semua layanan dalam jarak tempuh jalan kaki (<1 km). Sebagian besar layanan terkonsentrasi di kota Balikpapan, menunjukkan ketimpangan spasial yang tajam antara pusat kota dan wilayah sekitarnya. Terutama untuk layanan keuangan dan transportasi, proporsi area dengan akses memadai bahkan lebih rendah dari 25%. Tanpa intervensi strategis, ketimpangan ini berpotensi menciptakan tantangan sosial baru di masa depan—ketimpangan pendidikan, kesenjangan kesehatan, dan marginalisasi ekonomi.

Yang membuat studi ini semakin relevan adalah pemanfaatan klasterisasi berbasis data untuk mengidentifikasi empat profil aksesibilitas di wilayah studi. Mulai dari klaster dengan akses sangat terbatas (terutama di Samboja), hingga klaster dengan akses sangat baik seperti di Balikpapan dan sebagian wilayah Sepaku. Temuan ini membuka pintu bagi pengambilan keputusan berbasis bukti, di mana pemerintah dapat secara terarah memprioritaskan pembangunan fasilitas baru atau memperluas infrastruktur transportasi umum.

Dari perspektif manajerial, implikasinya sangat nyata. Pertama, kerangka kerja berbasis data terbuka ini memungkinkan perencanaan wilayah yang lebih adaptif, murah, dan partisipatif—sangat cocok untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia. Kedua, hasil pemetaan aksesibilitas dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan Transit-Oriented Development (TOD), di mana fasilitas publik dibangun berdekatan dengan simpul transportasi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan. Ketiga, penggunaan klasterisasi membuka ruang untuk alokasi anggaran yang lebih efisien dengan fokus pada wilayah dengan ketimpangan tertinggi.

Studi ini juga menunjukkan potensi penggunaan data terbuka sebagai alternatif atas kelangkaan data resmi, terutama di wilayah yang sedang berkembang. Dengan tingkat kelengkapan sekitar 70% untuk data pendidikan, OSM terbukti cukup andal sebagai sumber informasi awal. Namun, ke depan, kolaborasi antara sektor publik, komunitas open-source, dan lembaga penelitian perlu diperkuat agar kualitas dan cakupan data dapat terus ditingkatkan.

Singkatnya, pendekatan inovatif yang ditawarkan oleh Wibowo dan tim membuka jalan bagi lahirnya perencanaan wilayah yang lebih inklusif, berbasis data, dan proaktif. Ketika visi pembangunan ibu kota baru bergulir, kita harus memastikan bahwa kota tersebut bukan hanya simbol masa depan, tetapi juga rumah yang layak bagi semua—terlepas dari apakah mereka tinggal di pusat kota atau di pinggiran yang sering terlupakan. Dalam dunia yang semakin terhubung, aksesibilitas bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan fondasi keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan.

Sumber: Wibowo, B. S., Aditya, R. B., & Harianto, T. F. (2021). Harnessing open data and technology for the study of accessibility: The case of Indonesia’s capital site candidate. Spatium, 46-53.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.