Jam biologis tubuh mempengaruhi preferensi wisatawan memilih destinasi

Dalam pasar pariwisata yang semakin kompetitif, memahami perilaku wisatawan menjadi kunci untuk menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Salah satu aspek yang sering terabaikan dalam studi perilaku wisatawan adalah bagaimana preferensi terhadap suasana atau ambiance berubah seiring waktu. Penelitian terbaru oleh Rischa Agustina dan Budhi S. Wibowo dari UGM memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana wisatawan merespons ambiance secara temporal—yakni, bagaimana ekspektasi mereka terhadap suasana berubah dari pagi, siang, hingga malam hari.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ambiance—yang mencakup elemen sensorik seperti cahaya, suara, warna, dan aroma—memiliki dampak signifikan terhadap pengalaman dan keputusan wisatawan. Namun, meski perubahan suasana sepanjang hari secara intuitif dapat dirasakan, belum banyak studi yang secara sistematis mengeksplorasi bagaimana perubahan waktu memengaruhi preferensi wisatawan terhadap ambiance tertentu.

Untuk menjawab pertanyaan ini, para peneliti mengadopsi pendekatan Kansei Engineering, sebuah metode yang lazim digunakan dalam desain produk dan layanan untuk menerjemahkan persepsi emosional manusia ke dalam variabel kuantitatif. Dengan mengumpulkan data dari 189 wisatawan domestik yang berkunjung ke Yogyakarta, mereka mengukur preferensi suasana wisatawan pada tiga periode waktu—pagi, siang, dan malam—menggunakan kuesioner berbasis skala diferensial semantik yang dikembangkan dari 30 kata sifat (Kansei words) yang merepresentasikan nuansa emosional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi wisatawan memiliki pola yang sangat konsisten dan berkaitan erat dengan ritme sirkadian. Ritme sirkadian merupakan pola biologis harian yang memengaruhi tingkat energi, suasana hati, dan preferensi aktivitas seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di pagi hari, wisatawan lebih cenderung mencari tempat dengan suasana natural dan lapang—sejalan dengan jam tubuh yang berada dalam fase pemulihan.

Ketika siang menjelang dan tingkat energi berada di puncaknya, preferensi beralih ke ambiance yang meriah dan populer. Wisatawan secara alamiah tertarik pada aktivitas yang bersifat sosial dan dinamis, seperti mengunjungi pasar, atraksi budaya, atau pusat kota yang ramai. Hal ini sejalan dengan meningkatnya aktivitas otak dan suhu tubuh yang terjadi pada tengah hari, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai studi tentang sirkadian.

Menjelang malam, preferensi bergeser drastis. Wisatawan mulai mencari suasana yang romantis, hangat, dan elegan. Ini adalah waktu di mana kebutuhan emosional akan kenyamanan dan kedekatan interpersonal meningkat, dan tubuh mulai bersiap untuk relaksasi. Restoran dengan pencahayaan lembut, musik akustik, dan suasana intim menjadi favorit. Sebaliknya, aktivitas yang bersifat petualangan atau menantang cenderung dihindari pada malam hari, karena kondisi biologis tubuh yang mulai menurun dalam kesiagaan dan preferensi terhadap ketenangan meningkat.

Kebaruan dari studi ini terletak pada pembuktian ilmiah bahwa pengalaman wisata yang ideal tidak hanya tentang “apa” yang ditawarkan, tetapi juga “kapan” ditawarkannya. Preferensi wisatawan terbukti sangat bergantung pada kondisi biologis harian mereka. Dengan demikian, strategi manajemen destinasi yang mempertimbangkan faktor waktu dan ritme sirkadian dapat menghasilkan dampak yang jauh lebih kuat terhadap kepuasan dan keterikatan emosional wisatawan.

Implikasi manajerial dari temuan ini sangat luas. Operator wisata, hotel, restoran, dan pengelola destinasi perlu menyadari bahwa suasana yang mereka tawarkan tidak bisa bersifat seragam sepanjang waktu. Perencanaan wisata harus mempertimbangkan jam kunjungan dan mencocokkan ambiance yang ditampilkan dengan ekspektasi temporal wisatawan. Pengaturan pencahayaan, alunan musik, bahkan aroma ruangan dapat disesuaikan agar resonan dengan kebutuhan emosional pengunjung pada waktu tertentu.

Dengan mengintegrasikan pemahaman tentang ritme sirkadian ke dalam desain pengalaman wisata, para pelaku industri tidak hanya menciptakan pengalaman yang lebih nyaman dan menyenangkan, tetapi juga meningkatkan efektivitas dalam pemasaran, pengelolaan aliran pengunjung, dan pengembangan produk wisata.

Sumber: Agustina, R., & Wibowo, B. S. (2025). Temporal preferences for ambiance: A study of tourist expectations across the day. Asian Management and Business Review, Volume 5 Issue 1.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi tulisan. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.

Mengungkap Resep Sukses Film Lokal di Tengah Gempuran Global

Dalam beberapa tahun terakhir, industri film lokal Indonesia menunjukkan ketangguhan yang mengejutkan. Meski harus bersaing dengan dominasi film Hollywood yang sarat dana dan promosi besar-besaran, film Indonesia tidak hanya bertahan—tetapi tumbuh. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada mengungkap secara komprehensif apa saja faktor kunci yang membedakan film lokal yang sukses dari yang gagal di box office, sekaligus membuka cakrawala baru bagi para produser dan distributor dalam menyusun strategi keberhasilan.

Masalah yang diangkat dalam studi ini cukup jelas: mengapa sebagian film lokal bisa menembus satu juta penonton sementara sebagian besar lainnya bahkan tidak mencapai 100.000? Untuk menjawab pertanyaan itu, tim peneliti menganalisis 225 film Indonesia yang dirilis antara 2017 dan 2018, menggunakan metode inovatif berbasis data bernama Tree-Based Comparative Analysis (TBCA). Ini adalah pendekatan yang menggabungkan logika set teori dengan model machine learning untuk mengidentifikasi pola sukses dalam kombinasi variabel yang kompleks.

Metode TBCA menawarkan keunggulan yang signifikan dibanding pendekatan konvensional. Sementara analisis statistik tradisional bisa tenggelam dalam kompleksitas data, TBCA menyederhanakannya menjadi pohon keputusan yang menunjukkan kombinasi minimum dari kondisi yang cukup untuk memprediksi kesuksesan. Hasil dari model ini tidak hanya akurat secara prediktif (dengan tingkat akurasi lebih dari 70%), tapi juga sangat interpretatif—fitur penting dalam pengambilan keputusan strategis di industri kreatif.

Hasil utama dari studi ini cukup menarik. Faktor yang paling menonjol dalam menentukan keberhasilan film lokal adalah popularitas aktor. Film dengan aktor populer memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses secara komersial. Tidak hanya itu, kehadiran film asing yang populer di bioskop pada waktu yang sama ternyata bukan ancaman, melainkan justru peluang. Film lokal yang dirilis bersamaan dengan film asing beranggaran besar malah cenderung memperoleh jumlah penonton yang lebih tinggi. Fenomena ini diduga terkait dengan halo effect, di mana minat masyarakat terhadap film asing menciptakan arus penonton yang juga berujung pada penemuan film lokal.

Namun, popularitas saja tidak cukup. Ketika membedakan film yang hanya “cukup sukses” dari yang “sangat sukses”, satu faktor menonjol: keakraban cerita. Film dengan narasi yang sudah dikenal penonton—baik sebagai sekuel, remake, atau adaptasi dari kisah populer—lebih mungkin menembus angka satu juta penonton. Temuan ini menegaskan efektivitas strategi brand extension dalam konteks film, sejalan dengan prinsip dasar pemasaran bahwa konsumen cenderung tertarik pada sesuatu yang sudah mereka kenal dan sukai.

Di sisi lain, studi ini juga menyoroti kombinasi faktor yang cenderung merugikan. Film bergenre drama dengan aktor yang kurang dikenal terbukti paling sulit meraih keberhasilan. Padahal, genre ini paling banyak diproduksi dalam industri film lokal. Ini menandakan perlunya evaluasi ulang dalam pemilihan genre dan pemetaan aktor, terutama untuk produser dengan sumber daya terbatas.

Dari temuan tersebut, implikasi manajerialnya sangat konkret. Pertama, casting aktor terkenal bukan sekadar keputusan artistik, melainkan investasi strategis yang terbukti berdampak pada performa pasar. Kedua, momentum peluncuran film perlu dipertimbangkan ulang: alih-alih menghindari film blockbuster asing, mungkin justru bisa dimanfaatkan sebagai katalis. Ketiga, membangun cerita yang berakar dari narasi yang telah dikenal publik dapat menjadi jalan pintas menuju sukses besar—dengan risiko yang lebih terukur dibanding eksplorasi cerita baru yang belum tentu resonan di pasar.

Dengan pendekatan berbasis data yang kuat dan wawasan yang aplikatif, studi ini menjadi kontribusi penting dalam literatur industri kreatif, khususnya di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Ini juga menjadi pengingat bahwa dalam dunia sinema, kesuksesan bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga soal strategi berbasis pemahaman mendalam terhadap perilaku penonton.

Ke depan, riset semacam ini perlu dilanjutkan dengan cakupan waktu yang lebih panjang dan integrasi variabel finansial seperti anggaran produksi dan biaya promosi. Namun satu hal sudah pasti: dalam lanskap yang kian kompetitif, intuisi saja tidak cukup. Film yang sukses membutuhkan cerita yang tepat, aktor yang strategis, dan waktu peluncuran yang cerdas—semuanya harus didukung oleh data.

Sumber: Wibowo, B. S., Rubiana, F., & Hartono, B. (2022). A data-driven investigation of successful local film profiles in the Indonesian box office. Jurnal Manajemen Indonesia, 22(3), 333-344.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.

Memetakan Aksesibilitas Calon Ibu Kota Baru lewat Open Data

Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur merupakan tonggak sejarah besar bagi Indonesia. Namun di balik keputusan monumental tersebut, tersimpan tantangan besar dalam merancang kota yang bukan sekadar megah secara fisik, tetapi juga inklusif, terhubung, dan berkeadilan. Salah satu aspek kunci yang sering luput dari perhatian dalam tahap awal perencanaan adalah aksesibilitas: sejauh mana masyarakat dapat menjangkau fasilitas penting seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan finansial.

Penelitian yang dilakukan oleh Budhi S. Wibowo, Rendy Bayu Aditya, dan Tirza Felia Harianto dari UGM menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang inovatif. Menggunakan data terbuka dari OpenStreetMap (OSM) serta perangkat lunak sumber terbuka seperti OSMNx dan Pandana, mereka merancang kerangka kerja untuk mengukur aksesibilitas berbasis jaringan jalan secara menyeluruh di wilayah calon ibu kota negara, yaitu area Penajam Paser Utara dan sekitarnya. Pendekatan ini bukan hanya ekonomis dan efisien, tetapi juga mudah direplikasi di wilayah lain—menjadikannya alat strategis dalam perencanaan regional.

Secara metodologis, studi ini mengukur jarak ke fasilitas publik berdasarkan kedekatan ke dua fasilitas terdekat dalam enam kategori utama: permukiman, pendidikan, kesehatan, pasar, transportasi, dan layanan finansial. Asumsinya sederhana namun kuat: jika seseorang tidak dapat menjangkau dua fasilitas serupa dalam radius lima kilometer, maka mereka hidup dalam kondisi aksesibilitas yang buruk. Pendekatan ini memperkenalkan aspek resiliensi dalam analisis aksesibilitas—sebuah langkah maju dibanding metode klasik yang hanya berfokus pada satu fasilitas terdekat.

Hasilnya mencengangkan. Hanya 20% dari wilayah yang dianalisis memiliki akses memadai ke semua layanan dalam jarak tempuh jalan kaki (<1 km). Sebagian besar layanan terkonsentrasi di kota Balikpapan, menunjukkan ketimpangan spasial yang tajam antara pusat kota dan wilayah sekitarnya. Terutama untuk layanan keuangan dan transportasi, proporsi area dengan akses memadai bahkan lebih rendah dari 25%. Tanpa intervensi strategis, ketimpangan ini berpotensi menciptakan tantangan sosial baru di masa depan—ketimpangan pendidikan, kesenjangan kesehatan, dan marginalisasi ekonomi.

Yang membuat studi ini semakin relevan adalah pemanfaatan klasterisasi berbasis data untuk mengidentifikasi empat profil aksesibilitas di wilayah studi. Mulai dari klaster dengan akses sangat terbatas (terutama di Samboja), hingga klaster dengan akses sangat baik seperti di Balikpapan dan sebagian wilayah Sepaku. Temuan ini membuka pintu bagi pengambilan keputusan berbasis bukti, di mana pemerintah dapat secara terarah memprioritaskan pembangunan fasilitas baru atau memperluas infrastruktur transportasi umum.

Dari perspektif manajerial, implikasinya sangat nyata. Pertama, kerangka kerja berbasis data terbuka ini memungkinkan perencanaan wilayah yang lebih adaptif, murah, dan partisipatif—sangat cocok untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia. Kedua, hasil pemetaan aksesibilitas dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan Transit-Oriented Development (TOD), di mana fasilitas publik dibangun berdekatan dengan simpul transportasi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan. Ketiga, penggunaan klasterisasi membuka ruang untuk alokasi anggaran yang lebih efisien dengan fokus pada wilayah dengan ketimpangan tertinggi.

Studi ini juga menunjukkan potensi penggunaan data terbuka sebagai alternatif atas kelangkaan data resmi, terutama di wilayah yang sedang berkembang. Dengan tingkat kelengkapan sekitar 70% untuk data pendidikan, OSM terbukti cukup andal sebagai sumber informasi awal. Namun, ke depan, kolaborasi antara sektor publik, komunitas open-source, dan lembaga penelitian perlu diperkuat agar kualitas dan cakupan data dapat terus ditingkatkan.

Singkatnya, pendekatan inovatif yang ditawarkan oleh Wibowo dan tim membuka jalan bagi lahirnya perencanaan wilayah yang lebih inklusif, berbasis data, dan proaktif. Ketika visi pembangunan ibu kota baru bergulir, kita harus memastikan bahwa kota tersebut bukan hanya simbol masa depan, tetapi juga rumah yang layak bagi semua—terlepas dari apakah mereka tinggal di pusat kota atau di pinggiran yang sering terlupakan. Dalam dunia yang semakin terhubung, aksesibilitas bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan fondasi keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan.

Sumber: Wibowo, B. S., Aditya, R. B., & Harianto, T. F. (2021). Harnessing open data and technology for the study of accessibility: The case of Indonesia’s capital site candidate. Spatium, 46-53.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.