Mengungkap Resep Sukses Film Lokal di Tengah Gempuran Global

Dalam beberapa tahun terakhir, industri film lokal Indonesia menunjukkan ketangguhan yang mengejutkan. Meski harus bersaing dengan dominasi film Hollywood yang sarat dana dan promosi besar-besaran, film Indonesia tidak hanya bertahan—tetapi tumbuh. Sebuah studi dari Universitas Gadjah Mada mengungkap secara komprehensif apa saja faktor kunci yang membedakan film lokal yang sukses dari yang gagal di box office, sekaligus membuka cakrawala baru bagi para produser dan distributor dalam menyusun strategi keberhasilan.

Masalah yang diangkat dalam studi ini cukup jelas: mengapa sebagian film lokal bisa menembus satu juta penonton sementara sebagian besar lainnya bahkan tidak mencapai 100.000? Untuk menjawab pertanyaan itu, tim peneliti menganalisis 225 film Indonesia yang dirilis antara 2017 dan 2018, menggunakan metode inovatif berbasis data bernama Tree-Based Comparative Analysis (TBCA). Ini adalah pendekatan yang menggabungkan logika set teori dengan model machine learning untuk mengidentifikasi pola sukses dalam kombinasi variabel yang kompleks.

Metode TBCA menawarkan keunggulan yang signifikan dibanding pendekatan konvensional. Sementara analisis statistik tradisional bisa tenggelam dalam kompleksitas data, TBCA menyederhanakannya menjadi pohon keputusan yang menunjukkan kombinasi minimum dari kondisi yang cukup untuk memprediksi kesuksesan. Hasil dari model ini tidak hanya akurat secara prediktif (dengan tingkat akurasi lebih dari 70%), tapi juga sangat interpretatif—fitur penting dalam pengambilan keputusan strategis di industri kreatif.

Hasil utama dari studi ini cukup menarik. Faktor yang paling menonjol dalam menentukan keberhasilan film lokal adalah popularitas aktor. Film dengan aktor populer memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses secara komersial. Tidak hanya itu, kehadiran film asing yang populer di bioskop pada waktu yang sama ternyata bukan ancaman, melainkan justru peluang. Film lokal yang dirilis bersamaan dengan film asing beranggaran besar malah cenderung memperoleh jumlah penonton yang lebih tinggi. Fenomena ini diduga terkait dengan halo effect, di mana minat masyarakat terhadap film asing menciptakan arus penonton yang juga berujung pada penemuan film lokal.

Namun, popularitas saja tidak cukup. Ketika membedakan film yang hanya “cukup sukses” dari yang “sangat sukses”, satu faktor menonjol: keakraban cerita. Film dengan narasi yang sudah dikenal penonton—baik sebagai sekuel, remake, atau adaptasi dari kisah populer—lebih mungkin menembus angka satu juta penonton. Temuan ini menegaskan efektivitas strategi brand extension dalam konteks film, sejalan dengan prinsip dasar pemasaran bahwa konsumen cenderung tertarik pada sesuatu yang sudah mereka kenal dan sukai.

Di sisi lain, studi ini juga menyoroti kombinasi faktor yang cenderung merugikan. Film bergenre drama dengan aktor yang kurang dikenal terbukti paling sulit meraih keberhasilan. Padahal, genre ini paling banyak diproduksi dalam industri film lokal. Ini menandakan perlunya evaluasi ulang dalam pemilihan genre dan pemetaan aktor, terutama untuk produser dengan sumber daya terbatas.

Dari temuan tersebut, implikasi manajerialnya sangat konkret. Pertama, casting aktor terkenal bukan sekadar keputusan artistik, melainkan investasi strategis yang terbukti berdampak pada performa pasar. Kedua, momentum peluncuran film perlu dipertimbangkan ulang: alih-alih menghindari film blockbuster asing, mungkin justru bisa dimanfaatkan sebagai katalis. Ketiga, membangun cerita yang berakar dari narasi yang telah dikenal publik dapat menjadi jalan pintas menuju sukses besar—dengan risiko yang lebih terukur dibanding eksplorasi cerita baru yang belum tentu resonan di pasar.

Dengan pendekatan berbasis data yang kuat dan wawasan yang aplikatif, studi ini menjadi kontribusi penting dalam literatur industri kreatif, khususnya di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Ini juga menjadi pengingat bahwa dalam dunia sinema, kesuksesan bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga soal strategi berbasis pemahaman mendalam terhadap perilaku penonton.

Ke depan, riset semacam ini perlu dilanjutkan dengan cakupan waktu yang lebih panjang dan integrasi variabel finansial seperti anggaran produksi dan biaya promosi. Namun satu hal sudah pasti: dalam lanskap yang kian kompetitif, intuisi saja tidak cukup. Film yang sukses membutuhkan cerita yang tepat, aktor yang strategis, dan waktu peluncuran yang cerdas—semuanya harus didukung oleh data.

Sumber: Wibowo, B. S., Rubiana, F., & Hartono, B. (2022). A data-driven investigation of successful local film profiles in the Indonesian box office. Jurnal Manajemen Indonesia, 22(3), 333-344.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.

Memetakan Aksesibilitas Calon Ibu Kota Baru lewat Open Data

Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur merupakan tonggak sejarah besar bagi Indonesia. Namun di balik keputusan monumental tersebut, tersimpan tantangan besar dalam merancang kota yang bukan sekadar megah secara fisik, tetapi juga inklusif, terhubung, dan berkeadilan. Salah satu aspek kunci yang sering luput dari perhatian dalam tahap awal perencanaan adalah aksesibilitas: sejauh mana masyarakat dapat menjangkau fasilitas penting seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan finansial.

Penelitian yang dilakukan oleh Budhi S. Wibowo, Rendy Bayu Aditya, dan Tirza Felia Harianto dari UGM menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang inovatif. Menggunakan data terbuka dari OpenStreetMap (OSM) serta perangkat lunak sumber terbuka seperti OSMNx dan Pandana, mereka merancang kerangka kerja untuk mengukur aksesibilitas berbasis jaringan jalan secara menyeluruh di wilayah calon ibu kota negara, yaitu area Penajam Paser Utara dan sekitarnya. Pendekatan ini bukan hanya ekonomis dan efisien, tetapi juga mudah direplikasi di wilayah lain—menjadikannya alat strategis dalam perencanaan regional.

Secara metodologis, studi ini mengukur jarak ke fasilitas publik berdasarkan kedekatan ke dua fasilitas terdekat dalam enam kategori utama: permukiman, pendidikan, kesehatan, pasar, transportasi, dan layanan finansial. Asumsinya sederhana namun kuat: jika seseorang tidak dapat menjangkau dua fasilitas serupa dalam radius lima kilometer, maka mereka hidup dalam kondisi aksesibilitas yang buruk. Pendekatan ini memperkenalkan aspek resiliensi dalam analisis aksesibilitas—sebuah langkah maju dibanding metode klasik yang hanya berfokus pada satu fasilitas terdekat.

Hasilnya mencengangkan. Hanya 20% dari wilayah yang dianalisis memiliki akses memadai ke semua layanan dalam jarak tempuh jalan kaki (<1 km). Sebagian besar layanan terkonsentrasi di kota Balikpapan, menunjukkan ketimpangan spasial yang tajam antara pusat kota dan wilayah sekitarnya. Terutama untuk layanan keuangan dan transportasi, proporsi area dengan akses memadai bahkan lebih rendah dari 25%. Tanpa intervensi strategis, ketimpangan ini berpotensi menciptakan tantangan sosial baru di masa depan—ketimpangan pendidikan, kesenjangan kesehatan, dan marginalisasi ekonomi.

Yang membuat studi ini semakin relevan adalah pemanfaatan klasterisasi berbasis data untuk mengidentifikasi empat profil aksesibilitas di wilayah studi. Mulai dari klaster dengan akses sangat terbatas (terutama di Samboja), hingga klaster dengan akses sangat baik seperti di Balikpapan dan sebagian wilayah Sepaku. Temuan ini membuka pintu bagi pengambilan keputusan berbasis bukti, di mana pemerintah dapat secara terarah memprioritaskan pembangunan fasilitas baru atau memperluas infrastruktur transportasi umum.

Dari perspektif manajerial, implikasinya sangat nyata. Pertama, kerangka kerja berbasis data terbuka ini memungkinkan perencanaan wilayah yang lebih adaptif, murah, dan partisipatif—sangat cocok untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia. Kedua, hasil pemetaan aksesibilitas dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan Transit-Oriented Development (TOD), di mana fasilitas publik dibangun berdekatan dengan simpul transportasi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan. Ketiga, penggunaan klasterisasi membuka ruang untuk alokasi anggaran yang lebih efisien dengan fokus pada wilayah dengan ketimpangan tertinggi.

Studi ini juga menunjukkan potensi penggunaan data terbuka sebagai alternatif atas kelangkaan data resmi, terutama di wilayah yang sedang berkembang. Dengan tingkat kelengkapan sekitar 70% untuk data pendidikan, OSM terbukti cukup andal sebagai sumber informasi awal. Namun, ke depan, kolaborasi antara sektor publik, komunitas open-source, dan lembaga penelitian perlu diperkuat agar kualitas dan cakupan data dapat terus ditingkatkan.

Singkatnya, pendekatan inovatif yang ditawarkan oleh Wibowo dan tim membuka jalan bagi lahirnya perencanaan wilayah yang lebih inklusif, berbasis data, dan proaktif. Ketika visi pembangunan ibu kota baru bergulir, kita harus memastikan bahwa kota tersebut bukan hanya simbol masa depan, tetapi juga rumah yang layak bagi semua—terlepas dari apakah mereka tinggal di pusat kota atau di pinggiran yang sering terlupakan. Dalam dunia yang semakin terhubung, aksesibilitas bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan fondasi keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan.

Sumber: Wibowo, B. S., Aditya, R. B., & Harianto, T. F. (2021). Harnessing open data and technology for the study of accessibility: The case of Indonesia’s capital site candidate. Spatium, 46-53.
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.

Strategi Kolaborasi Manusia dan AI dalam Peramalan Rantai Pasok

Di dunia bisnis yang semakin kompetitif dan tidak pasti, akurasi peramalan menjadi hal yang sangat penting, terutama dalam pengelolaan rantai pasokan. Ketika peramalan permintaan tidak akurat, berbagai masalah bisa muncul, mulai dari pelayanan pelanggan yang buruk hingga kelebihan stok dan inefisiensi operasional. Salah satu cara yang banyak digunakan untuk meningkatkan akurasi peramalan adalah dengan menggabungkan peramalan AI dan keahlian manusia. Meskipun strategi ini efektif, tantangan utamanya adalah bagaimana memilih strategi yang tepat sesuai dengan kondisi pasar yang ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Budhi Wibowo, Yoga Janu Prakoso, dan Nur Aini Masruroh (2023) memberikan wawasan baru dengan menilai efektivitas strategi gabungan peramalan berdasarkan konfigurasi produk-pasar yang terdapat dalam matriks Ansoff. Matriks Ansoff, yang pertama kali diperkenalkan oleh Igor Ansoff pada tahun 1957, digunakan untuk merencanakan strategi pertumbuhan perusahaan. Matriks ini membagi peluang pertumbuhan menjadi empat kategori berdasarkan dua dimensi utama: produk dan pasar. Keempat strategi tersebut adalah:

  1. Penetrasi Pasar: Fokus pada peningkatan penjualan produk yang sudah ada di pasar yang sudah ada. Perusahaan berusaha meningkatkan pangsa pasar melalui promosi, harga yang lebih kompetitif, atau perluasan distribusi.
  2. Pengembangan Lini Produk: Perusahaan menawarkan produk baru kepada pasar yang sudah ada, baik melalui inovasi produk atau perbaikan produk yang sudah ada.
  3. Ekspansi Pasar: Menjual produk yang ada ke pasar baru. Ini bisa melibatkan ekspansi geografis atau penargetan segmen pasar yang berbeda.
  4. Diversifikasi Produk: Mengembangkan produk baru untuk pasar yang baru, yang sering kali melibatkan risiko lebih tinggi karena perusahaan memasuki area yang belum dikenal.

Ketidakakuratan dalam peramalan permintaan dapat menyebabkan dampak negatif yang besar dalam rantai pasokan. Untuk mengatasinya, salah satu strategi yang umum digunakan adalah menggabungkan peramalan AI dan manusia. Masing-masing peramalan ini berasal dari sumber informasi yang berbeda, yang dapat saling melengkapi. Namun, tantangannya adalah tidak semua strategi gabungan peramalan dapat bekerja dengan efektif di semua kondisi pasar atau produk. Oleh karena itu, penting untuk memilih strategi yang tepat berdasarkan karakteristik pasar dan produk yang sedang dianalisis.

Penelitian ini menguji empat strategi gabungan peramalan yang berbeda, yaitu: (i) penyesuaian judgmental, (ii) koreksi statistik, (iii) kombinasi mekanis, dan (iv) input judgmental. Keempat strategi ini diuji dalam empat konfigurasi produk-pasar yang berbeda, yang mencakup berbagai kondisi dalam matriks Ansoff. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing strategi gabungan peramalan:

  1. Penyesuaian Manusia: Dalam strategi ini, peramalan AI digunakan terlebih dahulu, kemudian diperbaiki atau disesuaikan oleh manusia berdasarkan analisis subjektif mereka. Penyesuaian ini didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman ahli yang mungkin tidak tercermin dalam data statistik.
  2. Koreksi AI: Di sini, peramalan manusia dikoreksi menggunakan AI. Koreksi ini bertujuan untuk mengurangi bias dalam peramalan manusia, terutama jika ada kecenderungan untuk terlalu optimis.
  3. Kombinasi sederhana: Dalam strategi ini, peramalan statistik dan judgmental digabungkan dengan rumus atau metode tertentu, seperti rata-rata sederhana. Metode ini bertujuan untuk mengurangi bias yang ada pada masing-masing jenis peramalan.
  4. Input Manusia: Strategi ini menggunakan peramalan manusia sebagai input dalam model AI. Pengetahuan manusia dimasukkan ke dalam model statistik untuk memberikan informasi tambahan yang mungkin tidak tersedia hanya dari data historis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi gabungan peramalan dapat meningkatkan akurasi, tetapi tidak semua strategi efektif di setiap kondisi pasar atau produk. Dari keempat strategi yang diuji, strategi input manusia dan kombinasi sederhana terbukti memberikan peningkatan akurasi yang konsisten di semua konfigurasi produk-pasar. Sebaliknya, penyesuaian manusia dan koreksi AI hanya memberikan hasil yang baik ketika peramalan dilakukan di pasar yang sudah dikenal.

Penelitian ini memberikan wawasan penting bagi pengembangan ilmu peramalan operasional. Dengan menguji efektivitas gabungan peramalan di bawah konfigurasi produk-pasar, hasilnya menunjukkan bahwa peramalan judgmental dan statistik memiliki karakteristik yang saling melengkapi. Peramalan judgmental cenderung menghasilkan bias positif, sementara peramalan statistik lebih sering mengalami bias negatif. Dengan menggabungkan keduanya, bias-bias tersebut dapat dikurangi, dan akurasi peramalan dapat meningkat secara keseluruhan.

Bagi para manajer yang ingin meningkatkan akurasi peramalan dalam rantai pasokan mereka, penelitian ini menawarkan beberapa implikasi praktis. Pertama, daripada memilih hanya satu metode peramalan, lebih baik jika perusahaan mempertahankan kedua jenis peramalan—judgmental dan statistik—untuk saling melengkapi. Gabungan kedua metode ini bisa memberikan manfaat yang signifikan bila diterapkan dengan tepat.

Namun, penerapan strategi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam beberapa kasus, penyesuaian manusia yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang cukup justru bisa merugikan akurasi peramalan. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk melibatkan para ahli yang memiliki pemahaman mendalam tentang pasar dan produk dalam proses penyesuaian ini.

Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan pentingnya menyesuaikan strategi peramalan dengan kondisi pasar dan produk tertentu. Dengan pendekatan yang tepat, organisasi dapat meningkatkan ketepatan peramalan mereka dan mengurangi risiko yang terkait dengan operasi rantai pasokan.

Sumber: Budhi S. Wibowo, Yoga J. Prakoso & Nur Aini Masruroh (2023) Performance of judgmental–statistical forecast combination strategies under product-market configurations, International Journal of Management Science and Engineering Management, 18:2, 104-117, DOI: 10.1080/17509653.2021.2015472
Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. AI digunakan untuk mengkonversi artikel ilmiah yang merupakan karya asli penulis ke dalam bahasa artikel populer. AI juga digunakan untuk membuat ilustrasi pada kepala tulisan. Gambar lain merupakan karya asli penulis. Penulis tetap melakukan pengecekan dan pengeditan atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan sumber aslinya.