Uji kompetensi Teknik Industri-mu dengan dua studi kasus ini!

Beberapa tahun lalu, muncul masukan dari alumni Teknik Industri UGM. Mereka menyampaikan bahwa pembelajaran di kampus terlalu fokus pada topik-topik yang sempit. Mata kuliah cenderung mengajarkan konsep secara terpisah. Akibatnya, mahasiswa kesulitan melihat bagaimana ilmu Teknik Industri diterapkan secara utuh di dunia nyata.

Masukan ini penting. Mahasiswa Teknik Industri perlu belajar memecahkan masalah yang tidak hanya bersifat teknis. Di lapangan, masalah sering kali bersifat kompleks dan melibatkan banyak aspek sekaligus. Maka, diperlukan pendekatan belajar yang lebih menyeluruh dan berbasis konteks nyata.

Namun, literatur studi kasus Teknik Industri yang relevan dengan konteks Indonesia masih sangat terbatas. Kebanyakan studi kasus yang tersedia berasal dari perusahaan besar di luar negeri, dengan sistem yang sudah mapan dan data yang lengkap. Padahal, banyak tantangan di industri Indonesia—khususnya di sektor UMKM—tidak dapat disederhanakan dalam kerangka yang sama. Kondisi lapangan di Indonesia sering kali ditandai oleh keterbatasan sumber daya, proses informal, dan dinamika operasional yang kompleks.

Untuk menjawab tantangan ini, kami mengembangkan dua studi kasus. Keduanya diambil dari usaha kecil menengah (UMKM) yang beroperasi di Yogyakarta. Kami memilih UMKM karena mereka menghadapi masalah nyata yang relevan dengan keilmuan Teknik Industri, dan sekaligus dekat dengan kehidupan mahasiswa.

Dua studi kasus ini kami rancang untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam berpikir sistematis. Mahasiswa tidak hanya dituntut memahami satu aspek, tetapi juga melihat hubungan antar bagian dalam sistem produksi. Mereka juga belajar bekerja dengan data yang tidak selalu lengkap, seperti yang biasa terjadi di dunia kerja. Dengan pendekatan yang tepat, dua kasus tersebut dapat diselesaikan dengan pena dan kertas, tanpa perlu alat bantu komputer atau software canggih.

Melalui pendekatan ini, mahasiswa dilatih untuk mengembangkan solusi yang tidak hanya logis, tetapi juga realistis. Mereka harus mempertimbangkan keterbatasan pelaku UMKM, baik dari sisi anggaran, sumber daya manusia, maupun kapasitas teknis. Dengan begitu, mahasiswa belajar menerapkan ilmunya secara kontekstual.

Langkah ini baru tahap awal. Ke depan, kami berharap semakin banyak studi kasus kontekstual yang dikembangkan dan digunakan dalam pembelajaran Teknik Industri. Studi-studi semacam ini penting untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Sebab pada akhirnya, keberhasilan pendidikan Teknik Industri tidak cukup diukur dari seberapa dalam mahasiswa memahami konsep, tetapi dari seberapa siap mereka terlibat langsung dalam memecahkan persoalan nyata di lapangan.

Mohon masukan dari rekan-rekan semua!

Muncul wacana Industry 5.0: Yakin sudah matang konsepnya?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia industri global diwarnai dengan munculnya istilah baru: Industry 5.0. Istilah ini seolah menjadi jawaban atas kegelisahan terhadap revolusi industri sebelumnya—Industry 4.0—yang dianggap terlalu fokus pada efisiensi dan otomatisasi. Kini, narasi perkembangan industri mulai bergeser ke arah yang lebih “humanis” yaitu mengembalikan manusia sebagai aktor utama dalam proses industri.

Namun, sebelum kita larut dalam euforia ini, pertanyaannya: apakah konsep Industry 5.0 benar-benar sudah matang, atau hanya sekadar jargon yang lahir terlalu dini?

Apa itu Industry 5.0?

Industry 5.0 sebenarnya muncul bukan karena dorongan teknologi, melainkan sebagai respons kritis terhadap keterbatasan Industry 4.0. Ia juga bukan kelanjutan revolusi industri dalam urutan waktu, tetapi lebih ke pergeseran nilai dan arah tujuan. Industry 5.0 lahir dari refleksi atas kekurangan konsep sebelumnya yang terlalu terpaku pada teknologi sebagai pusat segalanya. Dunia mulai sadar bahwa mengejar otomatisasi tanpa memperhitungkan aspek sosial, lingkungan, dan etika bisa membawa konsekuensi serius: kehilangan pekerjaan massal, ketimpangan digital, hingga eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan.

Sebagai antitesis, Industry 5.0 menempatkan manusia kembali sebagai pusat dari sistem industri. Terdapat tiga prinsip utama dalam pendekatan ini:

  • Human-centric: teknologi diciptakan untuk mendukung manusia, bukan menggantikannya.
  • Sustainable: aktivitas industri harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
  • Resilient: sistem industri harus tahan terhadap guncangan besar, baik itu pandemi, krisis iklim, maupun konflik geopolitik.

Dalam Industry 5.0, manusia tidak digantikan oleh mesin, tetapi justru berkolaborasi dengan teknologi secara cerdas. Misalnya di sektor manufaktur, muncul pendekatan cobot (collaborative robots) yang dirancang bukan untuk mengambil alih pekerjaan manusia sepenuhnya, tetapi untuk membantu tugas-tugas berat atau repetitif, sementara manusia tetap memegang peran dalam pengambilan keputusan strategis, desain, dan inovasi.

Dengan tiga prinsip tersebut, industri masa depan bukan lagi hanya soal kecepatan dan efisiensi produksi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi bisa memberdayakan manusia, menjaga kelestarian alam, dan tetap kokoh saat menghadapi krisis seperti pandemi atau gangguan geopolitik.

Namun, perlu disadari bahwa penerapan Industry 5.0 tidak lepas dari sejumlah tantangan mendasar. Transformasi ini bukan sekadar soal adopsi teknologi canggih, tetapi juga menuntut perubahan paradigma dalam melihat peran manusia dan teknologi di dalam sistem.

Sebagai contoh, dalam program smart farming, penggunaan sensor, drone, dan platform digital memang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian. Namun, dalam kerangka Industry 5.0, keberhasilan tidak cukup diukur dari kecanggihan teknologi semata. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana petani sebagai aktor utama dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mendapatkan akses pelatihan, dan merasakan manfaat ekonomi secara langsung. Dengan kata lain, teknologi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan alat pengganti manusia.

Contoh lainnya terlihat di sektor logistik e-commerce, teknologi algoritma rute cerdas memang meningkatkan kecepatan pengiriman. Namun, dalam kerangka Industry 5.0, keberhasilan tidak semata diukur dari kecepatan, tetapi juga dari dampak sosial dan lingkungan. Misalnya, opsi pengiriman terjadwal yang mengkonsolidasikan beberapa paket sekaligus dapat mengurangi emisi karbon, sementara perlindungan terhadap kesejahteraan kurir—seperti jam kerja manusiawi dan insentif keselamatan—menjadi indikator penting lainnya. Teknologi harus mendorong keberlanjutan dan kesejahteraan, bukan sekadar efisiensi.

Kritik dari Para Pakar

Di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan, konsep Industry 5.0 masih memicu diskusi hangat. Sebagian pakar melihatnya sebagai lompatan penting menuju pendekatan industri yang lebih bertanggung jawab dan inklusif. Komisi Eropa, misalnya, sudah mengadopsi Industry 5.0 dalam kerangka kebijakan industri mereka, menekankan hubungan erat antara digitalisasi dan agenda hijau.

Namun tak sedikit pula yang skeptis. Salah satu kritik utama terhadap konsep ini adalah bagaimana Industry 5.0 tampak lebih seperti branding politik ketimbang kerangka ilmiah yang matang. Sejumlah peneliti juga mempertanyakan kedalaman konsep Industry. Apakah ini benar-benar revolusi baru atau hanya rebranding dari ide-ide lama seperti socio-technical systems yang sudah dibahas sejak dekade 1970-an? Bukankah konsep seperti green manufacturing, corporate social responsibility (CSR), atau ekonomi sirkular sudah membahas hal serupa? Selain itu, minimnya kajian ilmiah dan studi kasus lapangan membuat konsep ini belum matang secara metodologis.

Penutup

Gagasan Industry 5.0 mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi seharusnya membawa manfaat bagi manusia, bukan sekadar mengejar efisiensi atau keuntungan semata. Dalam konteks Indonesia, di mana banyak sektor industri masih jauh dari adopsi teknologi tinggi, pendekatan Industry 5.0 mungkin lebih masuk akal karena memungkinkan kita untuk memulai transformasi dari nilai, bukan dari alat. Sehingga mencegah kita jatuh ke dalam jebakan mengejar teknologi demi citra, tanpa memikirkan dampak pada kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan.

Tantangannya kini adalah menjembatani antara narasi gagasan dan implementasi konkret di industri dan masyarakat. Jika tidak diterjemahkan dengan benar, Industry 5.0 bisa terjebak menjadi jargon kosong tanpa perubahan mendasar, seperti fenomena “greenwashing—yakni ketika perusahaan menggunakan jargon sustainability hanya sebagai pencitraan semata, namun pada praktiknya masih menerapkan sistem kerja yang eksploitatif.

Refleksi satu dekade Industry 4.0: Sudah sampai mana?

Ketika istilah “Industry 4.0” pertama kali diperkenalkan secara publik di ajang Hannover Messe tahun 2011, banyak pihak memandangnya sebagai sebuah revolusi industri baru yang akan mengubah lanskap manufaktur dan industri global secara drastis. Dengan janji membawa otomatisasi cerdas, konektivitas tanpa batas, dan pengambilan keputusan berbasis data real-time, konsep ini begitu memikat. Industri 4.0 menjanjikan era pabrik cerdas—tempat robot bekerja berdampingan dengan manusia, data dari sensor dikirim langsung ke cloud, dan kecerdasan buatan memprediksi kerusakan mesin sebelum terjadi.

Namun, kini setelah lebih dari satu dekade berlalu, pertanyaan penting muncul: sejauh mana sebenarnya realisasi dari harapan tersebut?

Fase Kebangkitan

Di Indonesia, narasi Industry 4.0 mulai mendapat sorotan serius sejak diluncurkannya peta jalan “Making Indonesia 4.0” oleh Kementerian Perindustrian pada tahun 2018. Lima sektor utama—makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia—ditetapkan sebagai prioritas transformasi digital nasional. Berbagai inisiatif dan kolaborasi, baik dari pemerintah maupun swasta, mulai diarahkan untuk mempercepat adopsi teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, artificial intelligence (AI), dan robotika dalam ekosistem industri Indonesia.

Jika kita lihat secara lebih luas, revolusi Industry 4.0 ini tidak hanya terlihat di pabrik manufaktur. Transformasi digital di Indonesia mengalami fase euforia ketika startup teknologi merajai pemberitaan, merekrut ribuan talenta muda, dan meraih pendanaan jutaan dolar dari investor global. Di jalanan kota-kota besar Indonesia, kita menyaksikan layanan ojek online seperti Gojek telah mengubah struktur pekerjaan, pola konsumsi, dan ekosistem logistik. Teknologi pemetaan, algoritma pembagian order, dan fitur e-wallet menjadikan ojek online simbol nyata dari otomasi berbasis data.

Fenomena serupa juga terjadi pada digitalisasi transaksi lewat QRIS. Sebagai sistem pembayaran terintegrasi, QRIS telah mendorong UMKM masuk ke ekosistem digital secara luas. Dari pedagang kaki lima hingga toko kelontong, kini banyak yang menerima pembayaran digital hanya dengan menempelkan stiker QR. Begitu pula di ranah e-commerce, platform seperti Tokopedia dan Bukalapak tidak hanya menjadi tempat jual beli online, tetapi juga sarana orkestrasi logistik, analitik permintaan, dan manajemen rantai pasok mikro secara real-time yang mampu melayani jutaan transaksi harian dan menjangkau konsumen hingga pelosok.

“Ojol, olshop, dan QRIS adalah wajah nyata Industry 4.0 di Indonesia — dekat, membumi, dan penuh tantangan.”

Fase Kekecewaan

Namun secara umum, integrasi menyeluruh masih menemui kendala. Tantangan yang dihadapi di Indonesia mencakup tidak hanya mahalnya biaya adopsi teknologi dan rendahnya interoperabilitas dengan sistem lama, tetapi juga kurangnya tenaga kerja terampil di bidang digital manufacturing. Sebagian besar pekerja manufaktur di Indonesia belum memiliki kompetensi digital yang memadai, sementara pelatihan vokasi yang adaptif terhadap perubahan teknologi juga belum meluas. Selain itu, banyak industri kecil dan menengah (IKM) belum tersentuh transformasi ini karena terbatasnya modal, akses teknologi, dan sumber daya manusia yang memadai.

Kendala ini diperparah oleh kegagapan sebagian instansi pemerintah dan konsultan bisnis dalam memaknai transformasi digital. Alih-alih membangun ekosistem digital yang terintegrasi dan berkelanjutan, tidak sedikit lembaga yang justru menyamakan digitalisasi dengan sekadar peluncuran aplikasi mobile atau portal layanan daring, tanpa integrasi data antarinstansi atau penyederhanaan proses birokrasi yang nyata. Bahkan, tidak jarang anggaran besar dialokasikan untuk teknologi yang belum relevan secara kontekstual—seperti proyek metaverse, AI, ataupun IoT, yang diluncurkan tanpa pemetaan kebutuhan pengguna atau kejelasan nilai manfaat.

Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap Industry 4.0 akhirnya memicu banyak kekecewaan. Di awal kemunculannya, Industry 4.0 dipromosikan seolah mampu membawa perubahan instan dalam produktivitas dan efisiensi. Kenyataannya, transformasi digital bersifat bertahap, kompleks, dan menuntut perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Transformasi ini tidak hanya soal membeli teknologi, tetapi juga menyangkut kesiapan manusia dan proses.

Inilah mengapa banyak inisiatif Industry 4.0 akhirnya gagal menunjukkan hasil signifikan dalam jangka pendek, sehingga menurunkan antusiasme di beberapa sektor. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, euforia Industry 4.0 meredup. Pemutusan hubungan kerja massal, penutupan layanan, dan valuasi yang ambruk menjadi sinyal bahwa disrupsi teknologi bukan jaminan keberhasilan tanpa fondasi bisnis yang solid. Runtuhnya kepercayaan investor internasional terhadap sebagian startup Indonesia menjadi pengingat penting bahwa adopsi teknologi harus disertai tata kelola yang baik, akuntabilitas data, dan strategi jangka panjang.

Fase Pencerahan

Namun menariknya, perkembangan dalam dekade ini tidak serta-merta menunjukkan kegagalan. Justru, ada pergeseran menuju pemahaman yang lebih matang. Para pemangku kepentingan kini mulai lebih realistis—tidak lagi hanya mengejar teknologi terbaru, melainkan mencari cara agar implementasi digital benar-benar sejalan dengan kebutuhan bisnis. Fokus mulai bergeser dari “apa teknologinya?” ke “apa nilai tambahnya?” Hal ini tercermin dari semakin maraknya pendekatan yang mengedepankan strategi berbasis nilai, interoperabilitas sistem, penguatan keamanan siber, dan peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan program reskilling.

Dalam konteks ini, wacana “Industry 5.0” mulai muncul sebagai respons terhadap keterbatasan pendekatan teknologi-sentris dari era sebelumnya. Industry 5.0 bukan berarti melupakan teknologi, tetapi mengembalikan peran manusia sebagai pusat inovasi. Kolaborasi antara manusia dan mesin, desain yang berpusat pada manusia (human-centered design), serta perhatian terhadap keberlanjutan (sustainability) dan ketahanan sistem (resiliency) menjadi prinsip kunci dari paradigma ini. Dengan kata lain, setelah satu dekade berfokus pada otomatisasi dan efisiensi, kini muncul kesadaran bahwa teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat kapasitas manusia, bukan menggantikannya.

“Pelajaran utama dari dekade pertama Industri 4.0 adalah pentingnya memulai dengan strategi digital yang jelas dan komprehensif yang selaras dengan tujuan bisnis organisasi secara keseluruhan.”

Epilog

Bagi generasi muda Indonesia yang akan menjadi pelaku industri masa depan, refleksi satu dekade Industry 4.0 ini memberi pelajaran penting. Pertama, bahwa transformasi digital bukanlah perjalanan singkat, tetapi membutuhkan strategi, kesabaran, dan kesiapan menyeluruh dari sisi teknologi, organisasi, dan budaya. Kedua, bahwa nilai sejati dari inovasi tidak terletak pada kecanggihan teknologinya semata, melainkan pada kemampuannya memecahkan masalah nyata dan menciptakan dampak sosial yang positif.

Maka jika pertanyaannya adalah “sudah sampai di mana Industry 4.0?”, jawabannya bukanlah garis akhir yang jelas, melainkan proses yang terus berkembang. Kita belum sepenuhnya tiba di destinasi akhir, tetapi sudah cukup jauh melangkah untuk memahami apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Dalam dekade berikutnya, tantangan dan peluang akan terus muncul, dan keberhasilan transformasi digital akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita merancang masa depan industri yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak secara sosial dan berkelanjutan secara lingkungan.

Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mengembangkan ide tulisan dan pembuatan ilustrasi (OpenAI ChatGPT). Penulis tetap melakukan kurasi dan pengeditan naskah. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.