GenAI: Teman Belajar atau Musuh Masa Depan Mahasiswa?

Di era sekarang, siapa yang tak kenal ChatGPT, Copilot, Gemini, dan kawan-kawannya? Mahasiswa dari berbagai jurusan sudah mulai akrab sekali dengan pakai alat-alat berbasis Generative AI (GenAI). Ada yang pakai buat nyari ide tugas, bikin esai, nulis skrip presentasi, bahkan bantu ngoding. Sangat praktis!

Tapi kok lama-lama ngerasa otak jadi makin males mikir ya?
Wah, hati-hati, bisa jadi kamu lagi masuk ke jebakan nyaman. Beberapa studi ilmiah terbaru menyebutkan bahwa penggunaan AI secara berlebihan ternyata berdampak buruk terhadap proses belajar dan perkembangan keterampilan manusia. Berikut ini adalah tiga dampak negatif utama berdasarkan studi ilmiah:

1. Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut studi Kasneci et al. (2023) dan Rahimi & Kord (2024), penggunaan AI secara terus menerus bisa melemahkan kemampuan analisis dan berpikir kritis. Mahasiswa cenderung menerima hasil dari AI tanpa bertanya: “Apakah ini masuk akal? Apakah ada bias dalam jawabannya? Apa ada sudut pandang lain?”

Akhirnya, kamu dapat kehilangan kemampuan untuk menyusun logika berpikir sendiri dan kesulitan saat harus berdiskusi, debat, atau ambil keputusan penting—baik di kampus, kerja, maupun kehidupan sosial. Contohnya, kamu pakai AI buat bikin esai. Esainya kelihatan rapi, strukturnya oke. Tapi pas dosen tanya: “Kenapa kamu ambil sudut pandang ini?” kamu bingung jawab karena nggak ngerti dasar pemikiran di baliknya.

2. Ketergantungan Berlebih (Over-reliance)

Penelitian Lyu dkk. (2024) dan Skulmowski & Xu (2021) nunjukin fenomena “automation bias” atau “cognitive offloading” dimana kita jadi kurang waspada terhadap kesalahan halus dalam jawaban AI dan tidak merasa perlu untuk double-check, meskipun AI juga bisa “halu.”

Contohnya, kamu mendapat tugas coding, AI kasih solusi, kamu tinggal copy-paste. Tapi ternyata ada kesalahan mendasar — kamu nggak sadar karena gak ngecek logikanya. Contoh lain, misal kamu mendapat tugas baca literatur, AI kasih kamu ringkasan, kamu kutip hasil ringkasan tanpa cek ulang akurasinya, sehingga malah menyebarkan informasi yang keliru.

3. Kehilangan Keterampilan (Deskilling)

Pernah merasa sulit menulis dari nol tanpa bantuan AI? Itu tanda bahwa kamu mulai kehilangan kemampuan dasar yang dulu kamu kuasai. Menurut Acemoglu & Restrepo (2018), deskilling adalah risiko nyata dalam era otomatisasi—AI menggantikan proses belajar, dan manusia kehilangan kemampuannya sendiri.

Kamu jadi nggak lagi bisa menulis dengan struktur yang rapi, malas membaca literatur atau mengolah data secara manual, ngoding cuma bisa copas dari AI, tapi nggak ngerti logikanya. Hasilnya, kamu mungkin terlihat “pintar” selama kuliah karena AI, tapi saat masuk dunia kerja atau lanjut studi, kamu kesulitan menunjukkan keterampilan dasar yang seharusnya kamu kuasai.


Kalau kamu sendiri gak ngembangin skill berpikir, menganalisis, dan mencipta — terus apa bedanya kamu sama AI?

Perusahaan ke depan gak butuh orang yang cuma bisa nanya ke AI.
Mereka butuh orang yang bisa kasih nilai tambah dari AI. Yang bisa ngasih nilai tambah manusia — ide orisinal, pemikiran strategis, empati, intuisi. Kalau itu nggak kamu latih, maka AI bukan cuma alat bantu tapi bisa jadi menggantikanmu di masa depan.

Jadi apakah AI itu jahat? Nggak juga. AI bisa jadi alat bantu luar biasa asal dipakai dengan sadar dan bertanggung jawab. Tapi kalau kamu jadikan AI sebagai jalan pintas buat “lepas dari mikir”, bisa jadi kemampuanmu lama-lama memudar tanpa terasa.

Ingat, IPK bagus itu bukan segalanya. Yang penting adalah kamu benar-benar tumbuh jadi pembelajar mandiri yang siap berpikir kritis dan bertindak bijak . Kalau kamu berhenti belajar dengan benar, AI justru akan menjadi saingan terberatmu — dan kamu bisa kalah.


5 Tips Sehat Gunakan AI:

  1. Mulai dari kamu dulu. Pakai AI buat revisi, bukan buat nulis dari nol.
  2. Verifikasi semua informasi. AI itu pintar, tapi bukan tanpa salah.
  3. Jaga proses berpikirmu tetap aktif. Jangan skip refleksi dan analisis.
  4. Gunakan AI buat latihan, bukan buat lari dari tugas. Generate soal, bukan jawabannya.
  5. Selalu jujur dan transparan. Kalau kamu pakai AI dalam pengerjaan tugas, sampaikan dengan terbuka.
Referensi:

Acemoglu, D., & Restrepo, P. (2018). The Race between Man and Machine: Implications of Technology for Growth, Factor Shares, and Employment. American Economic Review, 108(6), 1488-1542.

Akgun, S., & Greenhow, C. (2022). Artificial intelligence in education: Addressing ethical challenges in K-12 settings. AI and Ethics, 2(3), 431-440.

Kasneci, E., et al. (2023). ChatGPT for good? On opportunities and challenges of large language models for education. Learning and Individual Differences, 103, 102274.

Lyu, Q., et al. (2024). Cautionary Tales: A Survey on Potential Negative Consequences of Using Generative AI in Education. arXiv preprint arXiv:2402.19093.

Rahimi, R., & Kord, M. (2024). Navigating the challenges of artificial intelligence in higher education: A state-of-the-art analysis. Multimedia Tools and Applications, 1-25.

Skulmowski, A., & Xu, K. M. (2021). Understanding cognitive load in digital and online learning: a new perspective on extraneous cognitive load. Educational Psychology Review, 34(1), 1-32.


Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mempercepat penulisan (OpenAI ChatGPT), mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan (Google Gemini), serta menciptakan ilustrasi di awal (ChatGPT). Penulis tetap melakukan kurasi dan pengeditan naskah, serta pengecekan terhadap literatur untuk memastikan akurasi dan relevansinya. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.