Etika Penggunaan AI untuk Tugas Kuliah

Generative AI (GenAI) – seperti ChatGPT, Gemini, atau DeepSeek – makin sering dipakai mahasiswa buat bantu ngerjain tugas kuliah. Tapi pertanyaannya: boleh nggak sih sebenarnya pakai AI?

TL/IDR: boleh, tapi harus tahu etika penggunaannya.

Yuk kita kupas kapan boleh dan tidak boleh pakai GenAI dalam perkuliahan.

Kapan Boleh Pakai AI?

Umumnya, GenAI boleh digunakan untuk hal-hal seperti:

  1. Brainstorming: Bingung mau nulis apa? Pakai GenAI buat cari ide awal atau bikin outline kasar. Lalu kembangkan gagasan tersebut secara mandiri.
  2. Meringkas Teks yang Panjang: Pakai AI untuk mendapatkan gambaran umum dan skimming teks panjang, tapi bukan untuk menggantikan proses membaca keseluruhan.
  3. Belajar Materi Sulit: Minta penjelasan ulang dari AI saat dosenmu ngajarin konsep rumit pakai bahasa alien.
  4. Ngecek Tata Bahasa: Pakai AI buat ngecek grammar atau nyari kalimat yang lebih enak dibaca.
  5. Bantu Coding (kalo dibolehkan dosen): Kalau kamu kuliah di jurusan yang butuh ngoding, AI bisa bantu debug atau kasih saran — asal kamu paham konsep dasarnya dulu ya.
  6. Latihan Soal: Mau belajar sebelum ujian? Suruh AI buatin soal-soal latihan buat ngetes pemahaman kamu.
  7. Mencari Pendapat yang Berbeda: Minta AI untuk mencari pendapat yang berbeda dengan pendapatmu untuk meperkaya dan mempertajam argumen dalam analisismu.

Kapan Tidak Boleh? 🚫

Beberapa penggunaan AI berikut dapat melanggar etika akademik:

  1. Mengklaim hasil AI sebagai karyamu sendiri: copas mentah-mentah jawaban dari AI (teks, gambar, suara, video, code) dan mengakuinya sebagai hasil karyamu sendiri.
  2. Menggantikan tugas berpikir kritis: membuat keseluruhan esai, solusi, dan hasil karya kreatif, yang diharapkan untuk kamu buat sendiri.
  3. Mengabaikan proses belajar: menggantungkan kepada AI untuk menjawab pertanyaan atau tugas yang sulit tanpa berusaha mengembangkan pemahaman sendiri.
  4. Membuat kutipan, data, atau referensi palsu hasil karangan AI.
  5. Mengunggah data sensitif: data privat, data perusahaan, ataupun data sensitif lainnya tidak boleh diunggah ke AI.

Kalau kamu tetap ngelakuin itu bisa-bisa dianggap plagiarisme, dan itu termasuk pelanggaran serius di dunia akademik (e.g. bisa kena sanksi bahkan hingga dikeluarkan dari kampus).

Bagaimana Etika Menggunakan AI? 💕

Kalau kamu pakai GenAI yang berkontribusi signifikan ke isi tugasmu, seperti:

  • Membuat outline atau struktur laporan yang benar-benar membentuk hasil akhir tugasmu.
  • Menyisipkan kalimat, paragraf, atau ide hasil dari AI, meskipun sudah kamu edit.
  • Membuat kode, analisis data, atau solusi spesifik yang jadi bagian tugasmu.
  • Meringkas sumber bacaan yang kemudian kamu pakai di tulisanmu.

Maka kamu wajib melaporkan secara transparan dalam sebuah “pernyataan pengungkapan” (disclosure statement) yang minimal berisikan: nama platform AI yang digunakan dan bagaimana cara penggunaannya (misal: brainstorming, meringkas, bantu coding, bikin gambar).

Cara pengungkapan bisa lewat:

1. Pernyataan Umum (Acknowledgment):

“Penulis menggunakan bantuan ChatGPT 4.0 untuk mengembangkan ide awal dan memperbaiki struktur kalimat dalam penugasan ini.”

2. Catatan Kaki (Footnote):

Bagian argumentasi awal dikembangkan dengan bantuan Gemini (akses 14 April 2025) menggunakan prompt: ‘Apa saja dampak sosial dari subsidi energi?'

3. Di bagian metode penelitian:

Selama proses brainstorming, ChatGPT digunakan untuk mengeksplorasi berbagai topik seputar ekonomi sirkular. Ide-ide yang relevan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan kajian pustaka manual.

Mari kita gunakan GenAI sebagai alat bantu belajar, bukan sebagai joki digital. Jika kamu menggunakan AI, maka kamu wajib menyebutkan dengan jujur dan terbuka. Tugas kuliah harus mencerminkan pemahaman dan usaha kamu sendiri. Kalau kamu ragu, tanya dosennya langsung. Setiap kampus dan mata kuliah bisa punya aturan yang beda. Jadi, selalu cek kebijakan di kampus-mu masing-masing ya.

GenAI: Teman Belajar atau Musuh Masa Depan Mahasiswa?

Di era sekarang, siapa yang tak kenal ChatGPT, Copilot, Gemini, dan kawan-kawannya? Mahasiswa dari berbagai jurusan sudah mulai akrab sekali dengan pakai alat-alat berbasis Generative AI (GenAI). Ada yang pakai buat nyari ide tugas, bikin esai, nulis skrip presentasi, bahkan bantu ngoding. Sangat praktis!

Tapi kok lama-lama ngerasa otak jadi makin males mikir ya?
Wah, hati-hati, bisa jadi kamu lagi masuk ke jebakan nyaman. Beberapa studi ilmiah terbaru menyebutkan bahwa penggunaan AI secara berlebihan ternyata berdampak buruk terhadap proses belajar dan perkembangan keterampilan manusia. Berikut ini adalah tiga dampak negatif utama berdasarkan studi ilmiah:

1. Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut studi Kasneci et al. (2023) dan Rahimi & Kord (2024), penggunaan AI secara terus menerus bisa melemahkan kemampuan analisis dan berpikir kritis. Mahasiswa cenderung menerima hasil dari AI tanpa bertanya: “Apakah ini masuk akal? Apakah ada bias dalam jawabannya? Apa ada sudut pandang lain?”

Akhirnya, kamu dapat kehilangan kemampuan untuk menyusun logika berpikir sendiri dan kesulitan saat harus berdiskusi, debat, atau ambil keputusan penting—baik di kampus, kerja, maupun kehidupan sosial. Contohnya, kamu pakai AI buat bikin esai. Esainya kelihatan rapi, strukturnya oke. Tapi pas dosen tanya: “Kenapa kamu ambil sudut pandang ini?” kamu bingung jawab karena nggak ngerti dasar pemikiran di baliknya.

2. Ketergantungan Berlebih (Over-reliance)

Penelitian Lyu dkk. (2024) dan Skulmowski & Xu (2021) nunjukin fenomena “automation bias” atau “cognitive offloading” dimana kita jadi kurang waspada terhadap kesalahan halus dalam jawaban AI dan tidak merasa perlu untuk double-check, meskipun AI juga bisa “halu.”

Contohnya, kamu mendapat tugas coding, AI kasih solusi, kamu tinggal copy-paste. Tapi ternyata ada kesalahan mendasar — kamu nggak sadar karena gak ngecek logikanya. Contoh lain, misal kamu mendapat tugas baca literatur, AI kasih kamu ringkasan, kamu kutip hasil ringkasan tanpa cek ulang akurasinya, sehingga malah menyebarkan informasi yang keliru.

3. Kehilangan Keterampilan (Deskilling)

Pernah merasa sulit menulis dari nol tanpa bantuan AI? Itu tanda bahwa kamu mulai kehilangan kemampuan dasar yang dulu kamu kuasai. Menurut Acemoglu & Restrepo (2018), deskilling adalah risiko nyata dalam era otomatisasi—AI menggantikan proses belajar, dan manusia kehilangan kemampuannya sendiri.

Kamu jadi nggak lagi bisa menulis dengan struktur yang rapi, malas membaca literatur atau mengolah data secara manual, ngoding cuma bisa copas dari AI, tapi nggak ngerti logikanya. Hasilnya, kamu mungkin terlihat “pintar” selama kuliah karena AI, tapi saat masuk dunia kerja atau lanjut studi, kamu kesulitan menunjukkan keterampilan dasar yang seharusnya kamu kuasai.


Kalau kamu sendiri gak ngembangin skill berpikir, menganalisis, dan mencipta — terus apa bedanya kamu sama AI?

Perusahaan ke depan gak butuh orang yang cuma bisa nanya ke AI.
Mereka butuh orang yang bisa kasih nilai tambah dari AI. Yang bisa ngasih nilai tambah manusia — ide orisinal, pemikiran strategis, empati, intuisi. Kalau itu nggak kamu latih, maka AI bukan cuma alat bantu tapi bisa jadi menggantikanmu di masa depan.

Jadi apakah AI itu jahat? Nggak juga. AI bisa jadi alat bantu luar biasa asal dipakai dengan sadar dan bertanggung jawab. Tapi kalau kamu jadikan AI sebagai jalan pintas buat “lepas dari mikir”, bisa jadi kemampuanmu lama-lama memudar tanpa terasa.

Ingat, IPK bagus itu bukan segalanya. Yang penting adalah kamu benar-benar tumbuh jadi pembelajar mandiri yang siap berpikir kritis dan bertindak bijak . Kalau kamu berhenti belajar dengan benar, AI justru akan menjadi saingan terberatmu — dan kamu bisa kalah.


5 Tips Sehat Gunakan AI:

  1. Mulai dari kamu dulu. Pakai AI buat revisi, bukan buat nulis dari nol.
  2. Verifikasi semua informasi. AI itu pintar, tapi bukan tanpa salah.
  3. Jaga proses berpikirmu tetap aktif. Jangan skip refleksi dan analisis.
  4. Gunakan AI buat latihan, bukan buat lari dari tugas. Generate soal, bukan jawabannya.
  5. Selalu jujur dan transparan. Kalau kamu pakai AI dalam pengerjaan tugas, sampaikan dengan terbuka.
Referensi:

Acemoglu, D., & Restrepo, P. (2018). The Race between Man and Machine: Implications of Technology for Growth, Factor Shares, and Employment. American Economic Review, 108(6), 1488-1542.

Akgun, S., & Greenhow, C. (2022). Artificial intelligence in education: Addressing ethical challenges in K-12 settings. AI and Ethics, 2(3), 431-440.

Kasneci, E., et al. (2023). ChatGPT for good? On opportunities and challenges of large language models for education. Learning and Individual Differences, 103, 102274.

Lyu, Q., et al. (2024). Cautionary Tales: A Survey on Potential Negative Consequences of Using Generative AI in Education. arXiv preprint arXiv:2402.19093.

Rahimi, R., & Kord, M. (2024). Navigating the challenges of artificial intelligence in higher education: A state-of-the-art analysis. Multimedia Tools and Applications, 1-25.

Skulmowski, A., & Xu, K. M. (2021). Understanding cognitive load in digital and online learning: a new perspective on extraneous cognitive load. Educational Psychology Review, 34(1), 1-32.


Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mempercepat penulisan (OpenAI ChatGPT), mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan (Google Gemini), serta menciptakan ilustrasi di awal (ChatGPT). Penulis tetap melakukan kurasi dan pengeditan naskah, serta pengecekan terhadap literatur untuk memastikan akurasi dan relevansinya. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.

Apa sih yang dinilai Dosen saat sidang Skripsi?

Sidang skripsi sering dianggap sebagai momen paling menegangkan bagi mahasiswa. Di balik meja panjang, para dosen duduk dengan ekspresi serius, siap menguji hasil kerja keras berbulan-bulan. Tapi sebenarnya, apa saja yang mereka nilai?

Banyak mahasiswa mengira bahwa sidang hanya soal bisa menjawab pertanyaan atau tidak. Padahal, dosen menilai jauh lebih dari itu. Mereka mengamati cara berpikir, sikap, struktur tulisan, hingga etika akademik yang ditunjukkan selama proses dan presentasi. Mari kita kupas seperti apa kinerja yang dinilai baik dan buruk dalam sidang skripsi sesuai standar internasional untuk Sarjana Teknik (Washington Accord/IABEE).

Anggap ada dua mahasiswa yang sama-sama menulis skripsi tentang efisiensi produksi di industri. Mahasiswa pertama, sebut saja Soleh, menyusun laporan teknisnya dengan rapi. Bab-babnya tersusun logis, tiap argumen dilandasi referensi yang relevan, dan tidak ada kesalahan tata bahasa yang mencolok. Saat dibaca, laporan Soleh mengalir dengan jelas dan meyakinkan. Sebaliknya, Bowo menulis laporan yang meloncat-loncat alurnya—kesimpulan muncul sebelum analisis, dan banyak kalimatnya membingungkan. Dosen pembaca pun harus mengernyitkan dahi beberapa kali karena kesalahan bahasa dan istilah teknis yang tidak konsisten. Dalam aspek penulisan, Soleh jelas unggul karena ia menunjukkan kemampuan menyampaikan gagasan tertulis secara efektif dan profesional.

Nilai plus berikutnya datang dari integritas akademik. Soleh mencantumkan semua referensinya dengan benar, menyebutkan bahwa ia menggunakan bantuan AI hanya untuk proofreading, dan mencatat bahwa data yang ia pakai berasal dari kerja sama dengan sebuah perusahaan BUMN—semuanya dilaporkan di bagian metodologi. Bowo, di sisi lain, mencantumkan beberapa kutipan tanpa sumber, menutupi penggunaan AI dalam naskahnya, dan ketika ditanya, ia tidak bisa menjelaskan asal data yang ia gunakan. Hal ini memunculkan kecurigaan terhadap integritas akademiknya. Dalam hal ini, keterbukaan Soleh dalam metodologi menjadi poin penting yang membuat dosen merasa yakin terhadap validitas penelitiannya.

Saat hari sidang tiba, Soleh tampil percaya diri. Ia memaparkan hasil penelitiannya dengan runtut, menggunakan slide yang bersih dan informatif, tidak terlalu penuh teks, tapi cukup visual untuk membantu audiens memahami. Gestur tubuhnya tenang, suaranya jelas, dan ia terlihat benar-benar menguasai topiknya. Sebaliknya, Bowo datang dengan slide yang penuh tulisan dan gambar yang buram. Ia terlihat gelisah, sering membaca teks di layar, dan terkadang kehilangan arah ketika menjelaskan. Bagi dosen penguji, kemampuan presentasi bukan soal bakat bicara saja, tetapi soal bagaimana mahasiswa bisa menerjemahkan penelitiannya ke dalam komunikasi lisan dan visual yang efektif.

Setelah presentasi, tibalah saat tanya jawab. Dosen bertanya: “Mengapa Anda memilih metode X dibanding metode Y?” Soleh menjawab dengan mantap, menyebutkan kelebihan metode X dalam konteks datanya dan keterbatasan waktu pengambilan data lapangan. Jawabannya menunjukkan pemahaman mendalam terkait dasar teori. Ketika pertanyaan serupa diajukan ke Bowo, ia menjawab secara umum dan terlihat menghindari detail teknis. Di sinilah dosen bisa langsung menilai siapa yang betul-betul paham akan risetnya sendiri dan siapa yang hanya menjalankan skripsi sebagai formalitas.

Penilaian tidak hanya berhenti di sidang, tetapi juga dari perjalanan selama pengerjaan. Soleh sejak awal sudah membuat timeline, berdiskusi rutin dengan dosen pembimbing, dan menyelesaikan tiap tahap sesuai jadwal. Ia juga pandai mengelola data dan menggunakan software yang ia butuhkan. Bowo, sayangnya, sering telat konsultasi, beberapa kali mengganti topik karena tidak punya rencana yang matang, dan bahkan sempat kehilangan data karena tidak menyimpan dengan benar. Di mata dosen pembimbing, ini mencerminkan kemampuan manajemen proyek yang lemah.

Terakhir, interaksi mahasiswa dengan pihak luar juga diperhatikan. Dalam proses pengambilan data, Soleh selalu menjaga komunikasi yang sopan, meminta izin secara resmi, dan memberi ucapan terima kasih kepada respondennya. Ia menunjukkan sikap profesional sebagai peneliti muda. Bowo, sebaliknya, beberapa kali membuat narasumber kesal karena kurang sopan dan tidak memberi kabar lanjutan setelah wawancara. Hal-hal seperti ini bisa menjadi catatan etis penting bagi dosen pembimbing.

Jadi, sidang skripsi bukan cuma soal bisa atau tidaknya menjawab. Dosen menilai secara komprehensif: mulai dari kualitas tulisan, integritas akademik, cara presentasi, kemampuan berpikir kritis, manajemen proyek, hingga sikap profesional. Dan yang menarik, semuanya tidak bisa dipalsukan dalam satu hari sidang saja—semuanya adalah hasil dari proses panjang yang terlihat atau tidak terlihat oleh mahasiswa itu sendiri.

Disclaimer: Sebagian konten dalam tulisan ini dikembangkan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari platform OpenAI ChatGPT. Ide utama dan draf awal tulisan merupakan kontribusi orisinal penulis. AI digunakan sebagai alat bantu untuk mengembangkan proses penulisan dan menyajikan ilustrasi. Penulis tetap melakukan kurasi, pengeditan, dan penyesuaian atas semua konten untuk memastikan akurasi, relevansi, serta kesesuaian dengan konteks pendidikan teknik di Indonesia. Penggunaan AI tidak menggantikan tanggung jawab intelektual penulis, melainkan berfungsi sebagai mitra kreatif dalam pengembangan materi.